Pagi itu, bukan pagi yang biasa. Karena ada yang hilang…ya, secuil asa dan sepenuh jiwa yang tiba2 terhempas entah kemana, seperti debu yang ditiup angin. Tak tersisa. Tanpa bekas.
26
Desember 2004 menjadi hari yang takkan pernah aku lupakan, begitu pun
bagi seorang laki2 yang sangat berarti dalam hidupku, ya…bagi ayah.
Sebuah telepon membuyarkan semua mimpi masa depan. Padahal hari itu,
hari minggu. Hari yang bagi sebagian orang seharusnya menjadi hari untuk
berekreasi dan bercengkerama bersama keluarga.
Ayah
segera terdiam beberapa saat, seusai mengangkat telepon itu. Sejenak,
tanpa ekspresi. Namun, suara beratnya segera memecahkan suasana hening
di ruang tamu.” Ada kabar penting, “begitu ujarnya. Begitu
tenang, namun seperti ada yang tertahan di dalam dada. Ya, sepertinya
sebuah palu telah siap diayunkan, dan memecahkan benda apapun
dihadapannya. “Nenek meninggal tadi pagi, “ucapnya pelan, “dan siang ini harus segera dimakamkan. Ki, kamu harus membawa adik2mu ke Slawi, nanti kamu pakai angkot saja ya. “ Aku mengangguk pelan, Innalillahi wa innailaihirojiun…
Tiba2 ada pikiran lain yang berkecamuk dalam hati. Ke Slawi pake angkot?? Sendirian??
Pake bawa adik2ku segala?? Kalo ke sekolah sih aku berani ngangkot
sendirian, lha ini, ke Slawi?! Glek!! Mana jaraknya lumayan jauh. Butuh
sekitar ¾ jam untuk kesana. Disaat itu aku baru tahu, bahwa ayah tak
main2. Ini bukan saatnya untuk bermanja2 ria, apalagi untuk tawar
menawar soal keputusannya. Aku tahu, sekali ucap, ayah takkan pernah
main2. Pantang baginya, seorang yang perfeksionis(menurutku…:p),
menjilat kembali ucapannya. Harus!! Itu prinsip hidup ayah yang bagi
ibu, sering membuatnya jengkel. (Hehe…walo gitu, tetep aja akur. Aneh
ya!! :D)
Aku
berangkat ke Slawi, bersama 2 orang adikku. Ilham dititipkan di
tetangga dekat. Takut ilham disana rewel, katanya. Sampai di Slawi, aku
tak sempat melihat wajah nenek terakhir kali. Alasannya, waktu sudah
siang, dan nenek harus segera dimakamkan. Dan memang benar, semua sanak
keluarga sudah berkumpul dirumah. Tinggal ke pemakaman.
Di
pemakaman, aku tak sempat melihat ayah menangis, ya…mungkin ia sedih,
tapi aku tak tahu yang ada di benaknya saat itu, sedihkah, ataukah yang
lain. Sebuah beban berat terasa menghimpitnya seketika itu.
Senyumnya
yang berwibawa tak terlihat lagi di hari2 berikutnya. Tak hanya sekali
aku melihatnya murung, terdiam di kursi sofa ruang tamu berhari2. Sedih
melihat ia begitu. Tapi apa yang harus aku lakukan? Bagi ayah, nenek
adalah segala2nya, karena ayah anak laki2 kesayangan nenek. Dan yang
pasti…, aku takkan pernah tahu rasanya kehilangan seorang ibu. Tak ada
air mata yang tertumpah. Tak ada jerit kehilangan, atau isak tangis yang
terlontar dari bibirnya. Tak ada. Itu yang sekilas ku lihat. Namun,
raut wajahnya masih menampakkan kesedihan yang amat sangat. Boy’s don’t
cry!!, mungkin itu jeritnya dalam hati, mencoba bersikap tegar setegar
karang di tepi pantai.
Setelah
episode sedih itu berlalu, ayah sering ‘mewajibkan’ kami, anak2nya
membacakan Surat Yaasin untuk nenek tercinta, dan kakek yang meninggal
tahun 1996 selepas shalat magrib. Tak ada yang lain yang ia minta dari
kami selain doa untuk ibunda tercinta. Ibunda yang baginya
sangat…sangat… dan sangat ia sayangi dibandingkan harta dan benda apapun
di dunia ini. Ibunda yang baginya selalu meninggalkan kesan mendalam
tentang arti pengorbanan, kesetiaan, kelembutan dan kasih sayang. Ibunda
yang rela menghabiskan seumur hidupnya untuk merawat dan mendidik
anak2nya, walau tanpa imbalan apapun.
Senja
tampak merona di batas cakrawala langit. Magrib hampir menjelang, dan
ayah memutuskan untuk membaca yaasin bersama2 sebelum shalat magrib.
Saat itu, uyang, adik laki2ku terlambat pulang selepas mengikuti eskul
di SMP. Ia pulang dengan wajah kuyu, sambil menuntun sepeda masuk ke dalam rumah. Ayah segera menyambutnya dengan sedikit tegas. Segera sebuah pertanyaan memberondong adikku. “Habis kemana kamu? Kok gak inget waktu. Eskul ya…eskul. Tapi mbok ya ingat waktu. Masa sampe mau magrib baru pulang. “ Belum sempat jawaban keluar dari mulut adikku, titah paduka raja segera terucap. “Udah, mandi dulu sana, habis itu…sholat magrib, dan baca yaasin 3x.”
Adikku terkaget, tak menyangka hukuman yang akan ayah berikan
sedemikian berat. Tilawah yaasin 3x?? Hah?!! Aku tak sanggup
membayangkannya. Padahal, Uyang belum makan apapun sejak siang. Hukuman
itu sama aja seperti menamatkan hampir 1jus sekaligus. Tilawah tanpa
berhenti, apalagi minum. Capek nian mulut ini. :P
Seusai tilawah dan sholat isya, tanpa
sempat makan apapun untuk mengganjal lapar di perutnya, ia masuk ke
dalam kamar dan, … segera tertidur dengan sukses. Padahal belum ada lima
menit pipinya menempel pada bantal. Capek kali yaa… Hihihi…
Setengah jam berlalu. Aku masih sibuk menonton Tv. Tiba2 ibu terteriak, “Hei,
pak…Uyang kenapa tuh. Kok tiba2 ngigau gitu. Pake baca yasin segala.
Tuh kan beneeer, bapak sih salah… Orang anaknya lagi capek juga,
bukannya disuruh makan dulu, eh malah suruh tilawah. Yaasin 3x?? Kasian tuh sampe kebawa2 mimpi.”
Mendengar itu, aku berlari ke kamar adikku. Haah?? Beneran!! Ngigo
sambil baca yaasin? Keren amat yaks!! Wah, hebat tuh taktiknya. Kalo
gitu terus tiap hari, bisa hafal Qur’an cepet donk, gurauku. Hehe…
Senyum
simpul segera menghiasi wajah ayah. Tak ada gurat kemarahan dalam
wajahnya ketika ditegur ibu begitu. Tak ada!! Ah, aku merasa lega.
Entahlah…sejak kematian nenek, ayah lebih sering berdiam diri di dalam
GUA nya, tak mau diusik oleh siapapun. Kematian nenek adalah trauma
terbesar dalam hidupnya. Dan keputusannya untuk menghukum adikku begitu,
hanya untuk sekedar mengingatkan, bahwa tak ada yang bisa ia berikan
pada ibunda tercinta selain doa dari anak yang sholeh, dan seluruh
keluarganya. Hanya itu yang dapat ia berikan, sebagai bekal sang Ibu di
alam kubur yang sepi sunyi. Hanya itu… Dan hanya itu pula yang dapat aku
berikan untuk kakek dan nenek. Menyebut nama mereka dalam setiap
doa2ku.
Namun,
bagiku…Aku masih tetap bisa memberikan yang terbaik, berusaha keras
menjadi anak yang berbakti. Yah, berusaha memberi yang terbaik untuk
ayah ibu tercinta dan seluruh keluarga di rumah. Semoga!! Dan itu bukan
sekedar mimpi, karena cinta itu butuh pembuktian. So, buktikan cintamu
ILA!! Berikan yang terbaik untuk mereka…OK!!
NB: Untuk
orang2 yang selalu menanti kepulanganku di rumah, Aku mencintaimu Ayah,
IBu!! My Litlle Princes, Ilham Bagus Mardiansyah (Sebuah keajaiban
untuk Ibu di Akhir Agustus 2003), Yusuf Ardi Nugroho, dan Asri Arining
Tyas(adik2ku). Mas Tonny tersayang, dan keluarga…
Ah,
terlalu banyak cinta yang tak bisa aku ungkapkan dengan
kata2…Terimakasih telah meneriaki hidupku dengan semua nada. Sehingga
lagu kehidupan itu tak hanya mengalir sendu, tapi juga syahdu, sesekali
ceria, namun terkadang juga mengharu biru. Kalian, selalu ada… di
hatiku.:D Kok jadi kayak mau nangis sih? Huu…….dasar Ila!! Aneh!! :P
241206, 20:51 Diketik pake kompi mbaK SaNdi. Thanks yaa…:)
Yup, cowok g boleh nangis. Karena cowok itu kuat.
BalasHapusLalu kenapa Tuhan memberikan air mata kepada cowok?
hihi... biar air matanya dipake kalo pas butuh. :D
BalasHapustapi memang jarang laki-laki nangis ya... menurut pengamatanku gitu, kak.. hehe
salam kenal ya, makasih dah mampir. ^^
:D, manfaatkan waktu yang masih ada untuk mencintai orang tua ^^
BalasHapus