Pages

Selasa, 11 Januari 2011

Ternyata ‘mafia kesehatan’ itu masih tetap meraja!



Bismillahirrahmanirrahiim....

Seharian ini saya hanya berkutat di dalam rumah. Aktivitas yang sama, menjaga adik kecil saya, Ilham dan membereskan seisi rumah (bener2 kayak ibu RT bgt! ^^) , karena kedua orang tua saya sedang sibuk mengikuti seminar pendidikan bertema KTI  (lupa kepanjangannya.. :D) di Slawi dan baru pulang sore hari.


Saya sedang bersiap ngeprint ‘tulisan’ yang baru dibuat Ilham di komputer, mengambil kertas HVS kosong, sampai tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumah saya dan memperkenalkan dirinya sebagai seorang penyuluh program pencegahan penyakit Cikungunya dan DBD yang ditugaskan oleh Pemerintah Kota. Dua penyakit-yang menurut file di komputer yang saya baca Desember lalu-itu, merupakan salah satu penyakit mematikan yang banyak menelan korban, apalagi di saat  musim penghujan begini.


Karena mengingat pentingnya penyuluhan itu, saya pun mau tak mau mempersilahkan tamu tersebut untuk duduk. Beberapa saat kemudian, ia membahas pentingnya pencegahan penyakit tersebut, dan menganggap bahwa salah satu cara untuk mencegah berkembangnya penyakit itu adalah dengan cara memberikan bubuk abate untuk ditaburkan di sumber air yang dimiliki di dalam rumah.


Saya pun manggut-manggut tanda setuju. Sampai disini, saya hanya terdiam, tak terlalu banyak berkomentar, sampai ia mengajukan syarat untuk mendapatkan bubuk tersebut, saya harus memberinya uang untuk pengganti. Per sachet-nya sebesar Rp. 2000,00. Sedang satu sachet bisa dipergunakan sampai 2 bulan. Setiap keluarga diharapkan untuk mengambil setidaknya tiga sachet.


Glek! Saya terdiam lebih lama, bukan karena terbengong mendengar ia mengutarakan syarat tsb. Tapi karena ternyata, saya mendapati fakta di lapangan yang mencengangkan! Ya, untuk mendapatkan bubuk abate itu, saya harus mengeluarkan kocek pula? Haaaahh… parah sekali ternyata negeri ini yaa?! Disatu sisi pemerintah tengah sibuk memberantas penyakit yang mewabah, dan hampir semua daerah mengalaminya dan menjadi daerah endemik paling berpotensial untuk menelan korban paling banyak, di sisi lain, oknum semacam ini malah justru asyik2an mengambil untung disaat orang lain mengalami kesulitan finansial.


Saya jadi teringat file yang saya baca tersebut. Ini dia petikan file yang saya baca bulan lalu:

Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun

Departemen Kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua metode tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan.


Silahkan lihat petikan berikutnya:

Kebijakan pemerintah:

Dalam rangka mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh penyakit demam berdarah, pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa kebijakan, di antaranya adalah:

a.)   Memerintahkan semua rumah sakit baik swasta maupun negeri untuk tidak menolak pasien yang menderita DBD.

b.)    Meminta direktur/direktur utama rumah sakit untuk memberikan pertolongan secepatnya kepada penderita DBD sesuai dengan prosedur tetap yang berlaku serta membebaskan seluruh biaya pengobatan dan perawatan penderita yang tidak mampu sesuai program PKPS-BBM/ program kartu sehat . (SK Menkes No. 143/Menkes/II/2004 tanggal 20 Februari 2004).

c.)   Melakukan fogging secara massal di daerah yang banyak terkena DBD.

d.)   Membagikan bubuk Abate secara gratis pada daerah-daerah yang banyak terkena DBD. Melakukan penggerakan masyarakat untuk melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk melalui 3M dan merekrut juru pemantau jentik (jumantik).

e.)   Penyebaran pamflet lewat udara tentang pentingnya melakukan gerakan 3 M (Menguras, Menutup, Mengubur).

f.)  Menurunkan tim bantuan teknis untuk membantu RS di daerah , yang terdiri dari unsur-unsur : Ikatan Dokter Anak Indonesia, Persatuan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia,  Asosiasi Rumah Sakit Daerah

g.)  Membantu propinsi yang mengalami KLB dengan dana masing-masing Rp. 500 juta, di luar bantuan gratis ke rumah sakit.

h.)  Mengundang konsultan WHO untuk memberikan pandangan, saran dan bantuan teknis.

i.)  Menyediakan call center Jakarta, Pusadaldukes (021) 34835188 (24 jam) DEPKES, Sub Direktorat Surveilans (021) 4265974, (021) 42802669 DEPKES, Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) (021) 5265043

j.) Melakukan Kajian Sero-Epidemiologis untuk mengetahui penyebaran virus dengue.

k.) Mengembangkan suatu sistem surveilen dengan menggunakan teknologi informasi (Computerize) yang disebut dengan Early Warning Outbreak Recognition System( EWORS). EWORS berperan dalam hal menginformasikan data kasus DBD dari segi jumlah, gejala/karakteristik penyakit, tempat/lokasi, dan waktu kejadian dari seluruh rumah sakit DATI II di Indonesia.


http://www.litbang.depkes.go.id/index.htm

Petikan yang saya garis tebal itu, membuktikan fakta lain. Bagaimana hasil pencegahan tersebut bisa memuaskan, jika untuk mendapatkannya saja, sebuah keluarga miskin di lingkungan sekitar tempat tinggal saya, harus mengeluarkan uang untuk membeli apa yang seharusnya menjadi haknya?

Apa gunanya mengeluarkan dana berjuta2 untuk menyediakan sarana pengasapan? Alat fogging -yang saya tahu dari Pak Eko, salah satu staff kepegawaian Dinas Kesehatan Provinsi-, harga satu buahnya sampai menelan dana 30-60 juta?? Apa untuk melakukan fogging pun, masyarakat harus ikut urun duit juga untuk membayar alatnya?? Ampunnn deeh…!

Mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai adalah hak setiap warga negara. Itu yang saya baca dan cermati disetiap butir2 pasal UUD yang dulu saya pelajari di sekolah.  Lalu, apa kini itu hanya basa-basi belaka, tanpa adanya pembuktian?? Lalu , apa peran pemerintah untuk menanggulangi semakin maraknya ‘diskriminasi’ dan makin eksisnya ‘Mafia2’ di bidang kesehatan? Entahlah...  

Saya menyesalkan janji Mentri Kesehatan bahwa pemerintah akan memberikan pelayanan untuk menanggulangi bencana nasional/ kejadian luar biasa (KLB) semacam DBD dan Chikungunya tersebut, dengan tepat sasaran dan benar metodenya, blm terealisasi dengan baik.

Hhaaahh… semakin saya memikirkannya, semakin muak saya dengan fenomena ini. Lantas, apa yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk menghadapi para mafia2 ini ya??





-Ila Rizky Nidiana-

diambil dari blog multiply lamaku

Bumi Bahari, 220109, 09:15, Saat bumi makin meringis menangis

~Hidup adalah perlombaan mewujudkan hak  bagi orang lain (advokasi) ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung.
Mohon komen pakai url blog, bukan link postingan. Komen dengan menggunakan link postingan akan saya hapus karena jadi broken link. :)