Karakter yang Tak Terlupakan
By Ary Nilandari and Amiy Sholehah in Komunitas Penulis-Bacaan-Anak
Pernah tidak Anda menemukan atau mengenal seseorang dalam kehidupan nyata yang sulit dilupakan karena keunikan karakternya?
Dan apa pun yang dilakukan dan dikatakannya sesuai dengan karakternya itu?
Ketika dia melakukan/mengatakan sesuatu yang tidak sesuai, kita juga langsung tahu ada yang tidak beres, atau kita bertanya-tanya apa penyebab inkonsistensi ini.
Sebagai contoh, aku pernah serumah kos dengan seorang mahasiswa yang kegemarannya adalah mengumpulkan suvenir dari hotel-hotel. Kebetulan dia kuliah di akademi pariwisata, atau mungkin karena hobinya itu dia memutuskan kuliah di sana. Who knows. Yang jelas, di dinding kamarnya banyak sekali tergantung kunci kamar hotel berbagai bentuk dan ukuran. Di rak bukunya, berjajar pula asbak, gelas, piring, cangkir, dsb. Semuanya berlabel nama aneka hotel, baik di Indonesia, maupun luar negeri.
Dia sering bepergian dan menginap di hotel-hotel baik dalam rangka tugas kuliah maupun urusan pribadi. Dan dia selalu menyempatkan diri membawa suvenir pulang. Menurutnya, tidak semua suvenir itu diberikan dengan sukarela oleh penyelia hotel. Tapi demi koleksinya, dia punya cara lain untuk mendapatkan apa yang diingininya. "Mencuri" adalah kata yang terlintas dalam benakku waktu itu. Dari matanya yang berbinar penuh arti, aku tahu dia mampu melakukan itu kalau perlu, dan tanpa rasa sesal atau malu.
Such an unforgettable character, he was, terlepas dari moralitas yang berlaku.
Di lain pihak, adakah karakter dalam buku-buku yang Anda baca, begitu merasuk dalam benak, menjadikannya sosok yang tak bisa Anda lupakan? Jika karakter itu protagonis, Anda berharap bertemu dengannya dalam kehidupan nyata. Atau bahkan Anda berharap bisa menjadi seperti dirinya. Dan jika karakter itu antagonis, Anda ingin sekali menonjok mukanya pertama kali bertemu dengannya.
Georgina atau George dari Lima Sekawan, Jupiter dari Trio Detektif, Matilda-nya Roald Dahl, Fang dari Maximun Ride, Edward the Vampire, Nancy Drew, Atticus Finch, Tintin dan Snowy, Asterix dan Obelix, Bartimaeus, Lyra Belacqua dan Will Parry, Nellie dan Harriet Oleson, dan daftarnya bisa Anda perpanjang....
Mengapa mereka begitu berkesan?
Bagiku, tentu saja karena penulis begitu piawai menggambarkan karakter mereka sehingga secara emosional kita terpaut kepada mereka. Detail dan kuat.
James N.Frey (How to Write a Damn Good Novel) bilang: "No one wants to read about characters who are just anybody. They want to read about interesting somebodies, characters capable of evoking in the reader some measure of emotional response."
Bahkan karakter fiksi yang digambarkan biasa-biasa saja dan membosankan, harus mendapatkan penggambaran extraordinary sehingga pembaca merasakan benar orang ini sangat biasa dan membosankan. Itulah fiksi. Karakter di dalamnya sengaja dipilih dan dibentuk untuk menjadi sosok yang tak terlupakan. Yang akan menjustifikasi alur cerita. Singkatnya, karakter merupakan jantung cerita. Karakater membuat cerita. Kita bukan membaca apa yang terjadi, tapi pada siapa kejadian itu menimpa.
Sharon Creech (Walk Two Moon), misalnya, menurutnya, dia sering tak tahu bagaimana plot cerita yang akan ditulisnya. Dia tidak membuat outline. Dia hanya memikirkan sesosok karakter. Dan cerita mengalir sendiri di sekitar karakter ini. Jika Sharon memaksakan plot yang tidak sesuai dengan karakter tokohnya, si tokoh ini akan memberontak.
Aku sering merasakan hal itu juga. Aku sudah punya plot dari awal sampai akhir. Aku ingin endingnya seperti yang kubayangkan. Lalu aku memasukkan beberapa tokoh dengan karakter-karakter berbeda. Tapi interaksi di antara mereka yang konsisten dengan ciri karakter masing-masing membuat ending itu menjadi tidak masuk akal. Aku harus mengubah ending. Atau aku terpaksa menghapus salah satu karakter kalau mau berkeras dengan ending-ku. Tapi kalau aku sudah telanjur jatuh cinta dengan tokoh-tokohku, biasanya akulah yang mengalah, membiarkan mereka mengakhiri cerita dengan cara mereka.
Salah satu penyebab writer's block kukira ya ini. Penulis terpaku dengan ending yang sudah direncanakan tetapi di tengah jalan para karakter memberontak dan membawanya ke ending yang sama sekali berbeda. Akhirnya, penulisan macet di tengah jalan. Atau dari awal memang sudah ada inkonsistensi sehingga sulit membuat ending yang masuk akal. Atau penulis kurang mengembangkan karakternya menjadi sosok yang kuat, sehingga cerita terasa masih mentah di sana-sini.
Dalam penulisan fiksi, aku mempraktikkan ini:
Salam kreatif,
Ary Nilandari
Dan apa pun yang dilakukan dan dikatakannya sesuai dengan karakternya itu?
Ketika dia melakukan/mengatakan sesuatu yang tidak sesuai, kita juga langsung tahu ada yang tidak beres, atau kita bertanya-tanya apa penyebab inkonsistensi ini.
Sebagai contoh, aku pernah serumah kos dengan seorang mahasiswa yang kegemarannya adalah mengumpulkan suvenir dari hotel-hotel. Kebetulan dia kuliah di akademi pariwisata, atau mungkin karena hobinya itu dia memutuskan kuliah di sana. Who knows. Yang jelas, di dinding kamarnya banyak sekali tergantung kunci kamar hotel berbagai bentuk dan ukuran. Di rak bukunya, berjajar pula asbak, gelas, piring, cangkir, dsb. Semuanya berlabel nama aneka hotel, baik di Indonesia, maupun luar negeri.
Dia sering bepergian dan menginap di hotel-hotel baik dalam rangka tugas kuliah maupun urusan pribadi. Dan dia selalu menyempatkan diri membawa suvenir pulang. Menurutnya, tidak semua suvenir itu diberikan dengan sukarela oleh penyelia hotel. Tapi demi koleksinya, dia punya cara lain untuk mendapatkan apa yang diingininya. "Mencuri" adalah kata yang terlintas dalam benakku waktu itu. Dari matanya yang berbinar penuh arti, aku tahu dia mampu melakukan itu kalau perlu, dan tanpa rasa sesal atau malu.
Such an unforgettable character, he was, terlepas dari moralitas yang berlaku.
Di lain pihak, adakah karakter dalam buku-buku yang Anda baca, begitu merasuk dalam benak, menjadikannya sosok yang tak bisa Anda lupakan? Jika karakter itu protagonis, Anda berharap bertemu dengannya dalam kehidupan nyata. Atau bahkan Anda berharap bisa menjadi seperti dirinya. Dan jika karakter itu antagonis, Anda ingin sekali menonjok mukanya pertama kali bertemu dengannya.
Georgina atau George dari Lima Sekawan, Jupiter dari Trio Detektif, Matilda-nya Roald Dahl, Fang dari Maximun Ride, Edward the Vampire, Nancy Drew, Atticus Finch, Tintin dan Snowy, Asterix dan Obelix, Bartimaeus, Lyra Belacqua dan Will Parry, Nellie dan Harriet Oleson, dan daftarnya bisa Anda perpanjang....
Mengapa mereka begitu berkesan?
Bagiku, tentu saja karena penulis begitu piawai menggambarkan karakter mereka sehingga secara emosional kita terpaut kepada mereka. Detail dan kuat.
James N.Frey (How to Write a Damn Good Novel) bilang: "No one wants to read about characters who are just anybody. They want to read about interesting somebodies, characters capable of evoking in the reader some measure of emotional response."
Bahkan karakter fiksi yang digambarkan biasa-biasa saja dan membosankan, harus mendapatkan penggambaran extraordinary sehingga pembaca merasakan benar orang ini sangat biasa dan membosankan. Itulah fiksi. Karakter di dalamnya sengaja dipilih dan dibentuk untuk menjadi sosok yang tak terlupakan. Yang akan menjustifikasi alur cerita. Singkatnya, karakter merupakan jantung cerita. Karakater membuat cerita. Kita bukan membaca apa yang terjadi, tapi pada siapa kejadian itu menimpa.
Sharon Creech (Walk Two Moon), misalnya, menurutnya, dia sering tak tahu bagaimana plot cerita yang akan ditulisnya. Dia tidak membuat outline. Dia hanya memikirkan sesosok karakter. Dan cerita mengalir sendiri di sekitar karakter ini. Jika Sharon memaksakan plot yang tidak sesuai dengan karakter tokohnya, si tokoh ini akan memberontak.
Aku sering merasakan hal itu juga. Aku sudah punya plot dari awal sampai akhir. Aku ingin endingnya seperti yang kubayangkan. Lalu aku memasukkan beberapa tokoh dengan karakter-karakter berbeda. Tapi interaksi di antara mereka yang konsisten dengan ciri karakter masing-masing membuat ending itu menjadi tidak masuk akal. Aku harus mengubah ending. Atau aku terpaksa menghapus salah satu karakter kalau mau berkeras dengan ending-ku. Tapi kalau aku sudah telanjur jatuh cinta dengan tokoh-tokohku, biasanya akulah yang mengalah, membiarkan mereka mengakhiri cerita dengan cara mereka.
Salah satu penyebab writer's block kukira ya ini. Penulis terpaku dengan ending yang sudah direncanakan tetapi di tengah jalan para karakter memberontak dan membawanya ke ending yang sama sekali berbeda. Akhirnya, penulisan macet di tengah jalan. Atau dari awal memang sudah ada inkonsistensi sehingga sulit membuat ending yang masuk akal. Atau penulis kurang mengembangkan karakternya menjadi sosok yang kuat, sehingga cerita terasa masih mentah di sana-sini.
Dalam penulisan fiksi, aku mempraktikkan ini:
- Waktu baru memulai, aku tidak memasukkan banyak tokoh dalam ceritaku. Satu-dua orang sudah cukup. Protagonis atau antagonis, tak masalah. Yang penting aku berfokus untuk membuat tokoh ini spesial dan unik. Seiring penambahan pengalaman, aku bisa menghandel lebih banyak tokoh.
- Aku mencoba untuk keluar dari stereotipe. Kenapa menulis lagi tentang kelinci yang baik hati atau monyet yang nakal kalau kita bisa menokohkan buaya yang jenaka atau gajah yang pikun. Banyak stereotipe beredar di masyarakat kita: guru kebanyakan perempuan, tukang ledeng pasti laki-laki, penjahat biasanya berwajah penuh bekas luka, dst. Untuk anak-anak yang bersih dari prasangka, alangkah baiknya penulis membebaskan diri dari stereotipe. Kadang penulis lupa ini: misalnya, menganggap anak-anak paham dengan sendirinya bahwa seseorang itu jahat atau baik dari penampilan dan tampangnya.
- Sebelum mulai menulis, aku membuat character sheet. Semacam biodata untuk tokoh utama. Nama, tempat tanggal lahir, pekerjaan, ciri-ciri fisik, kebiasaan, agama, status dalam keluarga, status keuangan, pendidikan, ambisi, hobi, binatang peliharaan, makanan kesukaan, kelemahan, selera bacaan dan film, cita-cita, dst. Semakin baik kita mengenal tokoh kita, semakin konsisten kita gambarkan perbuatan dan kata-katanya. Kita tak akan membuat dialog yang "melenceng" dari karakternya. Misalnya anak yang digambarkan pemberani tiba-tiba menjerit kaget melihat bayangan. Bahkan pemberian nama pun harus mengena benar. Dalam kehidupan nyata, orangtua tak akan sembarangan memberi nama anak-anaknya. Penulis tidak sembarangan memberi nama tokoh-tokohnya. Aku ingat pernah ditanya penerbit kenapa aku memilih nama Rantriva dan Oxar. Untungnya aku sudah siap dengan argumenku. Kalau penulis merasa yakin nama tokohnya cocok, pembaca akan merasa nyaman, tidak berpikir bahwa nama itu diberikan asalan. Dengan karakter yang kuat dan pas, nama itu akan bergaung lama di benak pembaca.
- Seringlah mengamati orang-orang di sekeliling Anda. Naik bus, arisan, ngobrol dengan tetangga, whatever, jadikan itu kesempatan untuk mendapatkan ciri-ciri unik dan nyata bagi karakter Anda. Bagaimana seseorang berbicara, bagaimana posturnya, suaranya, nadanya, reaksinya, rambut di sekitar tengkuk, lekukan tulang pipi, dst. Kalau Anda khawatir orang marah karena Anda tatap terus, lakukan sembunyi-sembunyi deh. Cobalah membayangkan kisah yang cocok untuk orang yang duduk di depan Anda di angkot. Gunakan imajinasi.
- Karakter harus ada flaws. Kelemahan, keburukan, apa saja yang membuatnya tidak sempurna. Karena sempurna itu tidak manusiawi, dan akan menyulitkan pembaca mengidentifikasikan diri dengan karakter.
- Selain flaws, kejutan juga menarik. Ternyata karakter kita memiliki kualitas di luar dugaan. Selama konsisten dengan gambaran keseluruhan, dan digambarkan logis, kejutan tak akan merusak karakter kita.
Salam kreatif,
Ary Nilandari
apa yang membuat kita terlihat adalah karena kita memiliki perbedaan dari orang lain,
BalasHapusbila semua orang sama penampilannya, maka yang muncul adalah kebingungan saat mencari tahu dimana orang yang akan kita cari,
dan itulah karakter sebagai pembeda identitas dari identitas lainnya :)
terimakasih sudah berbagi ulasan mengenai karakter yang sangat menarik :)
ooh punya MP juga ternyata ya
BalasHapuskalo Gilda gimana ya?
BalasHapusIya, kalau lagi long trip kadang suka ngamati aneka ragam orang sepanjang perjalanan
BalasHapusWah makasih infonya..sangat bermanfaat sekali terutama bagi penulis pemula seperti saya hehe
BalasHapus