Menulis Fabel yuk?
“Kayaknya, naskah fabel udah nggak diminati lagi ya?”
“Aku punya naskah fabel, tapi ditolak melulu ama penerbit. Apa sudah nggak jamannya bikin fabel?”
Sering berpikiran begitu? Jika ya, jawabannya adalah:
Fabel masih diminati kok. Rasanya semua penerbit mau mereview naskah fabel dari kita. Jika naskah kita ditolak, selain faktor X yang datang dari luar, mungkin juga ada yang “salah” dalam naskah kita?
Salah, bukan berarti jelek.
Salah,bukan berarti totally wrong.
Salah, mungkin artinya fabel kita perlu sedikit dipoles lagi supaya lebih kinclong J
Pertanyaannya:
Ah, fabel itu kan seperti dongeng-dongeng lainnya? Hanya saja, tokohnya diganti binatang.
Cerita realistis bisa dijadikan fabel juga kan? Tokohnya (lagi-lagi) diganti binatang. Jadi si binatang bisa naik sepeda, bisa gosok gigi, bahkan bisa menjahit dan memasak?
Betul. Namanya dongeng, apapun bisa kita tuliskan dalam fabel ini. Tak ada yang menyalahkan kok.
Lalu, kenapa kok fabel saya ditolak melulu? Padahal fabel yang saya tulis sarat dengan ajaran kebaikan lho.
Saya bukan ahli menulis fabel. Lebih tepatnya lagi, saya juga masih belajar menulis.
Hanya saja, kebetulan saya memang banyak menggunakan tokoh binatang dalam cerita-cerita yang saya tulis. Dan masterpiecenya adalah “Dongeng Fantastis Dunia Binatang” yang berisi 23 fabel. Udah pada beli? Belum? Beli dong..
Saya ada resep rahasia dalam menulis cerita, tak hanya fabel. Apa sih resepnya? Berusahalah untuk memandang atau melihat satu masalah dari sisi yang lain. Masalah apapun itu!
Jadi, kalau teman-teman melihat benda berwarna hijau, jangan cepat percaya dan mengamini bahwa itu hijau doang. Bisa saja warna hijau itu berasal dari warna kuning dan biru yang bertemu? Atau sebenarnya ada warna lain di balik hijau itu? Kebetulan ada tukang cat lewat dan iseng menyapukan cat berwarna hijau?
Hihi, paham nggak sih maksud saya? Mbulet ya? Maklum, efek kuliah di Filsafat J kalo nggak mbulet nggak afdol.
Saya kasih contoh saja deh. Contohnya saya ambil dari cerita saya yang berjudul “Lomba Lari”. Cerita ini terinspirasi dari cerita lawas, tentang kelinci dan kura-kura yang lomba lari. Kura-kura lalu membohongi kelinci dengan mengajak temannya ikut berlari. Kelinci pun kalah, kura-kura menang.
Selama ini, yang kita tahu, kura-kura menang dan kita beranggapan bahwa kecerdikan itu bisa mengalahkan kesombongan kan?
Saya berpikir ulang. No, saya nggak suka kura-kura berbohong. Dan saya nggak mau bikin kelinci yang sombong. Kelinci memang pernah menghina kura-kura sebagai mahluk yang lambat, tapi kelinci sudah minta maaf.
Saya nggak mau kura-kura sukses berbohong. Saya lalu membuat kura-kura ketahuan bohongnya. Caranya? Ada di buku saya, hihi.
Endingnya bagaimana? Kelinci marah karena dibohongi kura-kura? Seharusnya begitu kan? Seharusnya dia kembali mengejek kura-kura sebagai mahluk lambat kan?
Tapi tidak, saya tidak mau membuat ending kelinci mempermalukan kura-kura.
Intinya, sebelum membuat suatu cerita, bacalah dulu banyak cerita untuk melatih kita menciptakan unusual plot and ending.
Jangan beralasan: Saya tinggal di desa, gak ada toko buku. Saya punya anak kecil, susah nyari waktu untuk baca. Saya ndak punya pembantu, hidup saya bak upik abu. Saya keadaan ekonominya masih kembang kempis, ga mampu beli buku.
Hmm..mampu onlen tiap hari, pasti mampu browsing juga kan? Jangan FBan melulu (*gampar diri sendiri)
Baca, browsing, pelajari, amati, cermati, dan eksekusi!
Rajin membaca akan tahu, oh cerita-cerita yang ada itu biasanya gini endingnya. Oh kalo ada melakukan kejahatan, biasanya ketahuan, terus dihukum bla..bla. Oh, kalo ada anak baik maka akan mendapatkan bla..bla.
Lalu, pikirkanlah sesuatu yang beda. Pencuri, tentunya tetap mendapat hukuman. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana proses ketahuannya? Bagaimana sikapnya setelah ketahuan/dihukum? Mari kita berkreativitas dengan alam pikiran kita. Jangan mau bikin cerita yang “biasa-biasa” saja.
Eh, sepertinya saya melenceng keluar dari fabel ya? Hehe, tapi percayalah..resep rahasia di atas itu berlaku untuk cerita fabel juga kok.
Beberapa hal yang bisa saya bagi berdasarkan pengalaman saat saya menulis fabel adalah:
“Aku punya naskah fabel, tapi ditolak melulu ama penerbit. Apa sudah nggak jamannya bikin fabel?”
Sering berpikiran begitu? Jika ya, jawabannya adalah:
Fabel masih diminati kok. Rasanya semua penerbit mau mereview naskah fabel dari kita. Jika naskah kita ditolak, selain faktor X yang datang dari luar, mungkin juga ada yang “salah” dalam naskah kita?
Salah, bukan berarti jelek.
Salah,bukan berarti totally wrong.
Salah, mungkin artinya fabel kita perlu sedikit dipoles lagi supaya lebih kinclong J
Pertanyaannya:
Ah, fabel itu kan seperti dongeng-dongeng lainnya? Hanya saja, tokohnya diganti binatang.
Cerita realistis bisa dijadikan fabel juga kan? Tokohnya (lagi-lagi) diganti binatang. Jadi si binatang bisa naik sepeda, bisa gosok gigi, bahkan bisa menjahit dan memasak?
Betul. Namanya dongeng, apapun bisa kita tuliskan dalam fabel ini. Tak ada yang menyalahkan kok.
Lalu, kenapa kok fabel saya ditolak melulu? Padahal fabel yang saya tulis sarat dengan ajaran kebaikan lho.
Saya bukan ahli menulis fabel. Lebih tepatnya lagi, saya juga masih belajar menulis.
Hanya saja, kebetulan saya memang banyak menggunakan tokoh binatang dalam cerita-cerita yang saya tulis. Dan masterpiecenya adalah “Dongeng Fantastis Dunia Binatang” yang berisi 23 fabel. Udah pada beli? Belum? Beli dong..
Saya ada resep rahasia dalam menulis cerita, tak hanya fabel. Apa sih resepnya? Berusahalah untuk memandang atau melihat satu masalah dari sisi yang lain. Masalah apapun itu!
Jadi, kalau teman-teman melihat benda berwarna hijau, jangan cepat percaya dan mengamini bahwa itu hijau doang. Bisa saja warna hijau itu berasal dari warna kuning dan biru yang bertemu? Atau sebenarnya ada warna lain di balik hijau itu? Kebetulan ada tukang cat lewat dan iseng menyapukan cat berwarna hijau?
Hihi, paham nggak sih maksud saya? Mbulet ya? Maklum, efek kuliah di Filsafat J kalo nggak mbulet nggak afdol.
Saya kasih contoh saja deh. Contohnya saya ambil dari cerita saya yang berjudul “Lomba Lari”. Cerita ini terinspirasi dari cerita lawas, tentang kelinci dan kura-kura yang lomba lari. Kura-kura lalu membohongi kelinci dengan mengajak temannya ikut berlari. Kelinci pun kalah, kura-kura menang.
Selama ini, yang kita tahu, kura-kura menang dan kita beranggapan bahwa kecerdikan itu bisa mengalahkan kesombongan kan?
Saya berpikir ulang. No, saya nggak suka kura-kura berbohong. Dan saya nggak mau bikin kelinci yang sombong. Kelinci memang pernah menghina kura-kura sebagai mahluk yang lambat, tapi kelinci sudah minta maaf.
Saya nggak mau kura-kura sukses berbohong. Saya lalu membuat kura-kura ketahuan bohongnya. Caranya? Ada di buku saya, hihi.
Endingnya bagaimana? Kelinci marah karena dibohongi kura-kura? Seharusnya begitu kan? Seharusnya dia kembali mengejek kura-kura sebagai mahluk lambat kan?
Tapi tidak, saya tidak mau membuat ending kelinci mempermalukan kura-kura.
Intinya, sebelum membuat suatu cerita, bacalah dulu banyak cerita untuk melatih kita menciptakan unusual plot and ending.
Jangan beralasan: Saya tinggal di desa, gak ada toko buku. Saya punya anak kecil, susah nyari waktu untuk baca. Saya ndak punya pembantu, hidup saya bak upik abu. Saya keadaan ekonominya masih kembang kempis, ga mampu beli buku.
Hmm..mampu onlen tiap hari, pasti mampu browsing juga kan? Jangan FBan melulu (*gampar diri sendiri)
Baca, browsing, pelajari, amati, cermati, dan eksekusi!
Rajin membaca akan tahu, oh cerita-cerita yang ada itu biasanya gini endingnya. Oh kalo ada melakukan kejahatan, biasanya ketahuan, terus dihukum bla..bla. Oh, kalo ada anak baik maka akan mendapatkan bla..bla.
Lalu, pikirkanlah sesuatu yang beda. Pencuri, tentunya tetap mendapat hukuman. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana proses ketahuannya? Bagaimana sikapnya setelah ketahuan/dihukum? Mari kita berkreativitas dengan alam pikiran kita. Jangan mau bikin cerita yang “biasa-biasa” saja.
Eh, sepertinya saya melenceng keluar dari fabel ya? Hehe, tapi percayalah..resep rahasia di atas itu berlaku untuk cerita fabel juga kok.
Beberapa hal yang bisa saya bagi berdasarkan pengalaman saat saya menulis fabel adalah:
- Ada penerbit yang mau-mau saja menerima binatang yang bisa act as human being. Bisa gosok gigi, bisa menari, bisa pake baju princess dll. Untuk jenis ini, kita bebas mau bikin binatang A bisa ngapain aja. Boleh-boleh saja gajah bisa terbang, atau punuk unta bisa buat lemari baju. Siapa takut?
- Ada penerbit yang maunya fabel itu tetap stick to karakter asli binatangnya. Misalnya, singa itu ya binatang buas berkaki empat. Jangan bikin cerita singa jadi anak manis pake rok dan pita, lalu doyan makan daun singkong.
- Tokoh-tokoh dalam fabel boleh pake nama, boleh juga tidak. Ada yang bilang, anak-anak bakal suka kalo dikasi nama, namun ada juga yang bilang pemberian nama hanya akan menyulitkan anak-anak mengingat siapa tokoh-tokohnya. Jadi, monggo deh mana yang mau dipilih.
- Tentukan arah fabel yang mau kalian tulis. Apakah mau berbagi informasi/pengetahuan? Misalnya tentang cicak yang memutus ekornya? Atau bunglon yang berubah warna? Saran saya, lakukan riset sebelum menulis. Fabel informatif kayak gini, kalo ceritanya ngawur ya bikin ilfil.
- Untuk tahu penerbit X maunya fabel yang kayak gimana, atau penerbit Y seleranya gimana? Rajin nengokin buku-buku terbitan mereka deh. Biasanya, kebaca kok kalo penerbit X ini sukanya nerbitin buku yang informatif/berbau-bau pengetahuan. Atau penerbit Y sukanya nerbitin dongeng-dongeng. Lalu, colek-colek deh para editornya.
- Ada yang mau nambahin? Tolooonggg….saya belum jadi ahli fabel! Sekian dan terima kasih. Semoga ini menjadi SESUATU ya? Alhamdullilah..beberapa orang bilang kalo cerita-cerita saya out of the box. Alhamdullilah...semoga jadi sesuatu *jadi rumah, mobil, emas batangan dll
Oh, ternyata ini blognya kak Kiky, ya :')
BalasHapusArtikel yang sangat membantu, kak :')
Kebetulan aku ini lagi mencari postingan yang menjelaskan tentang cerita fabel. Tapi, enggak kunjung ketemu yang penjelasannya benar-benar detail :'D
Akhirnya dapatnya di sini ^^, terima kasih, ya :')