Farewell
By Ila Rizky Nidiana
Mataku masih terjaga. Membaca setumpuk tugas kantor di sisa
akhir pekan. Rasanya seperti harus menempuh ribuan jam lagi untuk
menyelesaikannya. Hufft! Bukan pertama kalinya aku lembur. Hanya saja,
aku harus menyelesaikan ini secepatnya. Aku menutup tab halaman emailku dan
segera berkemas mengedit naskah-naskah yang masuk ke meja redaksi. Juga naskah
yang ada di hadapanku kini.
Belum genap setengah naskah kuedit, adzan bergema di mushala
kantor. Kulirik jam di tanganku yang sudah menunjuk angka enam. Merdu suara
muadzin membahana membelah langit petang ini. Aku pun menutup halaman naskah
dan berjalan ke arah mushala.
Percikan air wudhu membasuh wajahku, kakiku, tanganku,
menghilangkan penatku sejenak. Rasanya seperti diguyur mata air pegunungan
tempatku tinggal di daerah Bumijawa. Dingin sekali. Menyejukkan. Seperti oase
ditengah gersangnya padang pasir, air ini mampu membuatku tersenyum lega.
Wudhuku pun usai. Aku masuk ke mushala sembari melihat siapa saja yang masih
ada di sana.
Hanya tersisa satu orang lelaki di mushala ini. Karyawan
yang lain sudah libur sejak kemarin sore. Kujabat tangan lelaki itu. Lalu
memintanya menjadi imam shalatku. Tiga rakaat magrib tertunaikan sempurna. Kami
pun berbincang banyak hal. Aku takjub dengan pelafalan bacaan shalatnya.
Bacaannya bagus. Tak melulu tiga surat terakhir. Sosok yang dapat bertemu
ketika maghrib mengisi penjuru. Meski ia hanya seorang office boy,
kehadirannya selalu ditunggu di mushala kantor ini.
***
Sudah sampai mana? Iya sudah sampai mana perjalananku
sekarang? Rasanya seperti berjalan di hamparan perkebunan teh, tapi aku
tersesat menemukan arah lajuku. Bimbang masih juga meraja. Terlebih perasaan
ragu itu masih juga menumpuk di hatiku. Tsabit qalbi, ya Rabb.
Menentukan hati bukanlah perkara mudah. Letih menanti
seorang bidadari datang dalam hidupku. Ya, sesekali pertanyaan itu muncul lagi.
Barangkali pedih ini letih juga, ia setia menjalani perannya tanpa ada yang mau
bergantian.
“Jangan tunda menikah hanya karena masalah keuangan.
Percayalah, Mas Amar. Keuangan adalah masalah terakhir yang perlu dirisaukan
dalam menikah.” Nasihat Mas Yuda, Office Boy menggema di telingaku.
Rasanya aku kehilangan tempat bermuara, tapi saat aku mendengar nasihatnya,
hati ini bergemuruh. Seperti nasihat yang selama ini sangat aku rindukan.
“Pilihlah pasangan hidupmu, insya Allah pilihan hidup yang
lain, karir, bisnis dan hal-hal lain akan lebih mudah setelah itu, Mas.
Percayalah padaku.” Ucapnya sembari menjabat tanganku dan pamit berlalu
meninggalkanku yang masih termangu di sudut mushala ini.
***
Otak bekerja lebih baik kalau perut kosong. Dan aku percaya
itu. Diselingi makanan banyak justru membuat kantuk sering singgah sedari tadi.
Dan akhir tahun ini aku masih sibuk di kantor, entah selesai jam berapa. Tubuhku
sudah lelah, tapi kerjaan lemburan masih menumpuk.
“Bertahanlah, berjuanglah sampai penghabisan. Sampai tak
lagi sisa!” Yeah! Akhirnya aku selesai mengedit satu naskah yang masuk di meja
redaksiku. Rasanya senang sekali. Halaman-halaman yang berjejalan di layar
komputerku seakan melambai mengajakku meninggalkan hari ini dengan sempurna.
Satu tugasku selesai. Dan saatnya meninggalkan kantor.
“Jam 01.10. Alhamdulillaah sampai rumah juga. Incredible
end of the year.”
Desember mengantarkanku ke penghujung rindu. Rasa haru,
bersyukur, sepenuhnya mampir dalam hati dan menembus rasa takjub pada Rabb-ku.
Syukur yang menjelma mengurai serat-serat rindu itu makin rapi.
***
"Membohongi diri seperti apa pun, gak akan bisa menipu
mata, Mas Amar....” Suara adikku Nita di ujung telepon bergema. Dia mengajakku
berbicara dari hati ke hati. Hujan turun perlahan di subuh pagi ini. Langit
masih memamerkan warna kelabunya. Serat-serat abu yang membuatku bersyukur.
Pagi ini aku bisa merasakan hujan. Sesekali titisan air hujan membasah
memercik di wajahku.
“Maksudmu, Nit?” ucapku kaget.
“Bahagia itu sederhana, ketika dia yang kamu rindu,
merindukanmu juga. Kamu rindu Mbak Anung kan, Mas? Bicaralah pada ayahnya
segera. Perempuan tak akan bisa menunggu selama itu…”
“Kamu membuatku bimbang, Nit. Aku menunggu waktu yang tepat.
Aku ingin, tapi harus bersabar. Banyak yang harus kulakukan di sini. Di kota
ini.” Aku menengadah pada langit. Hujan mengajakku menanyakan rindu itu.
Memintalnya menjadi resah.
***
Aku
menatap mata Anung dalam-dalam. Kami berbincang di sudut caffe. Membahas rindu yang serupa rumpun rimbun bunga-bunga selalu
singgah ke hatiku.
“Kepercayaan
adalah jalan terdekat yang menghubungkan dua hati. Cinta adalah ketika dua hati
itu ada di satu tempat. Apakah kamu masih meragukan rinduku, Anung?” Aku
menarik tubuhku perlahan bersandar pada kursiku. Lalu, menyeruput kopi di
hadapanku. Tatapan mata Anung membiusku. Aku tahu. Dia sedang menunggu jawaban
yang tepat untuk masalah kami.
“Menikah
juga wajib. Bagi yang sudah mampu. Maka mampukanlah dirimu, Mas… Menikah adalah
juga lembaga pendidikan diri yang luar biasa. Pendidikan terindah bagi kita.”
Anung gelisah. Berkali-kali tatapannya mengarah ke luar caffe.
“Aku
tahu. Aku akan berusaha menggapai rindu itu agar tergenapi sempurna. Tak adakah
waktu untukku mempertimbangkannya?” Ucapku pilu.
“Aku
sedang merautkan dua belas pensil kelirku. Aku rindu senyummu menjadi gambar
pertamaku. Yang tetap memberi nilai sempurna pada tiap kekuranganku. Maka ijinkan
aku berkaca sejenak, Anung. Agar aku bisa membuat gambar pertamaku menjadi
sempurna.”
Anung
terdiam. Dilihatnya wajah Amar. Lelakinya yang tergenapi. Tapi rindu harus
bermuara. Andai dia bisa memilih. Sayangnya Ayahnya telah menentukan lajunya.
“Aku
harus menikah, Mas. Ada seorang yang menungguku. Dia datang pada Ayah. Dan jika
kau tak juga datang ke rumah, aku akan segera dipinangnya.”
Anung
menunduk dalam-dalam. Rasanya hatinya sudah hancur sejak tadi. Hanya sendu yang
melintas di wajahnya. Dan tangisnya pecah. Sesak di dadanya tak juga mampu
dibendung. Aku menunduk pasrah. Aku. Ya…aku kalah dengan egoku sendiri. Aku
kalah.
Sejauh
mana aku sudah berjalan? Sangat jauh. Ke masa lalu. Ke masa depan. Rasanya seperti ada mesin waktu yang
mengajakku singgah dari zaman ke zaman. Sesaat aku ingin berlari dan terbang
menghapus semua salahku. Sayangnya itu tak ada di dunia nyata.(*)
***
02012012, 10:45
:)
BalasHapushehe.. knp senyum2 sendiri, mba hani? :D
BalasHapussangat menarik dan inspiratif ceritanya,jika kamu Amar apakah akan melepas cinta demi karier?
BalasHapushm, apapun itu yang penting bagaimana kita mensyukuri dan memaknai hari baru yang diberikanNya sobat..
BalasHapusdan semoga sobat mendapatkan yg terbaik
ditunggu kunjungan baliknya sobat
happy blogging, :)
OOT : hai ila..met tahun baru yaa...semoga sukses selalu..
BalasHapusthanks udah follow blogku..aku udah followback :)
kak amri : hehe, makasih, kak... ^^ kalo dari pengamatanku dan juga nanya-nanya temen, biasanya laki-laki menjadikan alasan belum mapan sebagai alasan untuk tidak menikah dulu. padahal mapan itu relatif. sedangkan perempuan ga bisa nunggu lama untuk nunggu mapan. kalo mau ya segerakan. hihi :P tapi, kembali ke pribadi masing-masing untuk menjawab pertanyaan tadi, hehe :D
BalasHapusoutbound malang : iya, hehe. benar sekali. makasi sudah berkunjung. insyaAllah nanti main ke blognya ^^
BalasHapuswindflowers : slamat tahun baru juga, mba. semoga tahun ini lebih baik dalam segala hal ya dan diberi kesehatan juga. aamiin. makasih sudah berkunjung. ^^
menarik..sukses buat lombanya Ila..:)
BalasHapusIjin save ya...
BalasHapusBelom dibaca, hehe...