Pages

Senin, 02 Januari 2012

Farewell


Farewell
By Ila Rizky Nidiana

Mataku masih terjaga. Membaca setumpuk tugas kantor di sisa akhir pekan. Rasanya seperti harus menempuh ribuan jam lagi untuk menyelesaikannya. Hufft! Bukan pertama kalinya aku lembur. Hanya saja, aku harus menyelesaikan ini secepatnya. Aku menutup tab halaman emailku dan segera berkemas mengedit naskah-naskah yang masuk ke meja redaksi. Juga naskah yang ada di hadapanku kini.  

Belum genap setengah naskah kuedit, adzan bergema di mushala kantor. Kulirik jam di tanganku yang sudah menunjuk angka enam. Merdu suara muadzin membahana membelah langit petang ini. Aku pun menutup halaman naskah dan berjalan ke arah mushala. 

 Percikan air wudhu membasuh wajahku, kakiku, tanganku, menghilangkan penatku sejenak. Rasanya seperti diguyur mata air pegunungan tempatku tinggal di daerah Bumijawa. Dingin sekali. Menyejukkan. Seperti oase ditengah gersangnya padang pasir, air ini mampu membuatku tersenyum lega. Wudhuku pun usai. Aku masuk ke mushala sembari melihat siapa saja yang masih ada di sana. 

Hanya tersisa satu orang lelaki di mushala ini. Karyawan yang lain sudah libur sejak kemarin sore. Kujabat tangan lelaki itu. Lalu memintanya menjadi imam shalatku. Tiga rakaat magrib tertunaikan sempurna. Kami pun berbincang banyak hal. Aku takjub dengan pelafalan bacaan shalatnya. Bacaannya bagus. Tak melulu tiga surat terakhir. Sosok yang dapat bertemu ketika maghrib mengisi penjuru. Meski ia hanya seorang office boy, kehadirannya selalu ditunggu di mushala kantor ini. 

***

Sudah sampai mana? Iya sudah sampai mana perjalananku sekarang? Rasanya seperti berjalan di hamparan perkebunan teh, tapi aku tersesat menemukan arah lajuku. Bimbang masih juga meraja. Terlebih perasaan ragu itu masih juga menumpuk di hatiku. Tsabit qalbi, ya Rabb

Menentukan hati bukanlah perkara mudah. Letih menanti seorang bidadari datang dalam hidupku. Ya, sesekali pertanyaan itu muncul lagi. Barangkali pedih ini letih juga, ia setia menjalani perannya tanpa ada yang mau bergantian.

“Jangan tunda menikah hanya karena masalah keuangan. Percayalah, Mas Amar. Keuangan adalah masalah terakhir yang perlu dirisaukan dalam menikah.” Nasihat Mas Yuda, Office Boy menggema di telingaku. Rasanya aku kehilangan tempat bermuara, tapi saat aku mendengar nasihatnya, hati ini bergemuruh. Seperti nasihat yang selama ini sangat aku rindukan. 

“Pilihlah pasangan hidupmu, insya Allah pilihan hidup yang lain, karir, bisnis dan hal-hal lain akan lebih mudah setelah itu, Mas. Percayalah padaku.” Ucapnya sembari menjabat tanganku dan pamit berlalu meninggalkanku yang masih termangu di sudut mushala ini. 

***

Otak bekerja lebih baik kalau perut kosong. Dan aku percaya itu. Diselingi makanan banyak justru membuat kantuk sering singgah sedari tadi. Dan akhir tahun ini aku masih sibuk di kantor, entah selesai jam berapa. Tubuhku sudah lelah, tapi kerjaan lemburan masih menumpuk. 

“Bertahanlah, berjuanglah sampai penghabisan. Sampai tak lagi sisa!” Yeah! Akhirnya aku selesai mengedit satu naskah yang masuk di meja redaksiku. Rasanya senang sekali. Halaman-halaman yang berjejalan di layar komputerku seakan melambai mengajakku meninggalkan hari ini dengan sempurna. Satu tugasku selesai. Dan saatnya meninggalkan kantor. 

“Jam 01.10. Alhamdulillaah sampai rumah juga. Incredible end of the year.” 

Desember mengantarkanku ke penghujung rindu. Rasa haru, bersyukur, sepenuhnya mampir dalam hati dan menembus rasa takjub pada Rabb-ku. Syukur yang menjelma mengurai serat-serat rindu itu makin rapi. 

***

"Membohongi diri seperti apa pun, gak akan bisa menipu mata, Mas Amar....” Suara adikku Nita di ujung telepon bergema. Dia mengajakku berbicara dari hati ke hati. Hujan turun perlahan di subuh pagi ini. Langit masih memamerkan warna kelabunya. Serat-serat abu yang membuatku bersyukur. Pagi ini aku bisa merasakan hujan.  Sesekali titisan air hujan membasah memercik di wajahku. 

“Maksudmu, Nit?” ucapku kaget. 

“Bahagia itu sederhana, ketika dia yang kamu rindu, merindukanmu juga. Kamu rindu Mbak Anung kan, Mas? Bicaralah pada ayahnya segera. Perempuan tak akan bisa menunggu selama itu…”

“Kamu membuatku bimbang, Nit. Aku menunggu waktu yang tepat. Aku ingin, tapi harus bersabar. Banyak yang harus kulakukan di sini. Di kota ini.” Aku menengadah pada langit. Hujan mengajakku menanyakan rindu itu. Memintalnya menjadi resah. 
***
Aku menatap mata Anung dalam-dalam. Kami berbincang di sudut caffe. Membahas rindu yang serupa rumpun rimbun bunga-bunga selalu singgah ke hatiku.  

“Kepercayaan adalah jalan terdekat yang menghubungkan dua hati. Cinta adalah ketika dua hati itu ada di satu tempat. Apakah kamu masih meragukan rinduku, Anung?” Aku menarik tubuhku perlahan bersandar pada kursiku. Lalu, menyeruput kopi di hadapanku. Tatapan mata Anung membiusku. Aku tahu. Dia sedang menunggu jawaban yang tepat untuk masalah kami. 

“Menikah juga wajib. Bagi yang sudah mampu. Maka mampukanlah dirimu, Mas… Menikah adalah juga lembaga pendidikan diri yang luar biasa. Pendidikan terindah bagi kita.” Anung gelisah. Berkali-kali tatapannya mengarah ke luar caffe. 

“Aku tahu. Aku akan berusaha menggapai rindu itu agar tergenapi sempurna. Tak adakah waktu untukku mempertimbangkannya?” Ucapku pilu. 

“Aku sedang merautkan dua belas pensil kelirku. Aku rindu senyummu menjadi gambar pertamaku. Yang tetap memberi nilai sempurna pada tiap kekuranganku. Maka ijinkan aku berkaca sejenak, Anung. Agar aku bisa membuat gambar pertamaku menjadi sempurna.”

Anung terdiam. Dilihatnya wajah Amar. Lelakinya yang tergenapi. Tapi rindu harus bermuara. Andai dia bisa memilih. Sayangnya Ayahnya telah menentukan lajunya. 

“Aku harus menikah, Mas. Ada seorang yang menungguku. Dia datang pada Ayah. Dan jika kau tak juga datang ke rumah, aku akan segera dipinangnya.”

Anung menunduk dalam-dalam. Rasanya hatinya sudah hancur sejak tadi. Hanya sendu yang melintas di wajahnya. Dan tangisnya pecah. Sesak di dadanya tak juga mampu dibendung. Aku menunduk pasrah. Aku. Ya…aku kalah dengan egoku sendiri. Aku kalah.

Sejauh mana aku sudah berjalan? Sangat jauh. Ke masa lalu. Ke masa depan.  Rasanya seperti ada mesin waktu yang mengajakku singgah dari zaman ke zaman. Sesaat aku ingin berlari dan terbang menghapus semua salahku. Sayangnya itu tak ada di dunia nyata.(*)

***
02012012, 10:45

9 komentar:

  1. hehe.. knp senyum2 sendiri, mba hani? :D

    BalasHapus
  2. sangat menarik dan inspiratif ceritanya,jika kamu Amar apakah akan melepas cinta demi karier?

    BalasHapus
  3. hm, apapun itu yang penting bagaimana kita mensyukuri dan memaknai hari baru yang diberikanNya sobat..
    dan semoga sobat mendapatkan yg terbaik
    ditunggu kunjungan baliknya sobat
    happy blogging, :)

    BalasHapus
  4. OOT : hai ila..met tahun baru yaa...semoga sukses selalu..

    thanks udah follow blogku..aku udah followback :)

    BalasHapus
  5. kak amri : hehe, makasih, kak... ^^ kalo dari pengamatanku dan juga nanya-nanya temen, biasanya laki-laki menjadikan alasan belum mapan sebagai alasan untuk tidak menikah dulu. padahal mapan itu relatif. sedangkan perempuan ga bisa nunggu lama untuk nunggu mapan. kalo mau ya segerakan. hihi :P tapi, kembali ke pribadi masing-masing untuk menjawab pertanyaan tadi, hehe :D

    BalasHapus
  6. outbound malang : iya, hehe. benar sekali. makasi sudah berkunjung. insyaAllah nanti main ke blognya ^^

    windflowers : slamat tahun baru juga, mba. semoga tahun ini lebih baik dalam segala hal ya dan diberi kesehatan juga. aamiin. makasih sudah berkunjung. ^^

    BalasHapus
  7. menarik..sukses buat lombanya Ila..:)

    BalasHapus
  8. Ijin save ya...
    Belom dibaca, hehe...

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung.
Mohon komen pakai url blog, bukan link postingan. Komen dengan menggunakan link postingan akan saya hapus karena jadi broken link. :)