Dreaming
is believing. Vincero!
Biodata
Buku :
Judul buku : 12 Menit
Penulis : Oka Aurora
Penerbit : Noura book
Terbit : Mei 2013 (cetakan pertama)
Tebal buku : 343 halaman
ISBN : 978-602-7816-33-6
***
Sebuah keputusan membuat Rene harus berjibaku mempertahankan
impiannya untuk membawa tim Marching Band Bontang Pupuk Kaltim menjadi juara di
GPMB Jakarta. Demi dua belas menit yang
menentukan, mereka harus berlatih siang malam untuk melatih memori otot selama
sepuluh ribu jam. Mengorbankan apapun demi sebuah impian.
Rene pelatih yang sudah terbiasa melatih anak-anak
Jakarta harus dihadapkan pada kenyataan bahwa timnya tak setangguh anak-anak Jakarta
yang biasa dididik untuk menjadi juara. Bagi Rene ini adalah tantangan besar
memimpin seratus duapuluh anak dari kota kecil untuk percaya pada kekuatan
impian.
Adalah Elainne, Lahang, Tara dan Rene
manusia-manusia yang berjuang bersama mewujudkan impian mereka masing-masing.
Tara, gadis berjilbab yang memiliki gangguan pendengaran
tingkat berat. Ia harus menggunakan alat bantu pendengaran. Sebuah kecelakaanlah
yang menghilangkan suara dari hidupnya. Juga merenggut hidup ayahnya. Setelah
kejadian itu, Ibu Tara harus melanjutkan kuliah ke luar negeri, meninggalkan
Tara. Tara harus diasuh opa dan omanya di Bontang. Demi keinginan sang Ibu,
Tara meneruskan hidupnya tanpa kehadiran ibunya. Tara cenderung temperamen dan
menjadi penyendiri sejak ayahnya meninggal. Rasa bersalah menghantui dirinya,
mengira ia adalah penyebab kecelakaan ayahnya.
Elaine, gadis blasteran Jepang yang besar di Jakarta
mendadak harus merelakan dirinya pindah sekolah. Ia pindah ke Bontang karena
ayahnya pindah dinas. Ayahnya, Josuke, seorang lelaki asli Jepang yang merupakan insinyur
kimia, ditugaskan memimpin sebuah departemen di sebuah perusahaan besar di
Bontang. Elaine meninggalkan segala yang selama ini sangat berarti baginya,
termasuk teman-teman yang mendukungnya ikut marching band. Elaine dididik untuk
menjadi sesuai apa yang diinginkan Josuke ; keras, disipin, tegas. Tak
terbayangkan bagi Elaine, di Bontang ia justru mengalami pertentangan dengan
Ayahnya karena ia tak diijinkan ikut marching band, eskul pilihannya.
Satu-satunya yang membuat Josuke membolehkan Elaine ikut marching band jika
Elaine bisa mendapat nilai minimal 95.
Lahang, seorang anak keturunan Dayak. Ia mempunyai impian
yang sangat besar untuk bisa menaklukkan monas. Baginya, Monas adalah sebuah
tugu yang mengingatkan impiannya dengan almarhum ibunya. Ayahnya sakit parah,
dari diagnosa doter sakit kanker otak, membuat Lahang kesulitan untuk mengobati
ayahnya. Ia tak punya biaya, hingga akhirnya ia menyerahkan pemeliath untuk
membantunya menyembuhkan ayahnya, dengan pengobatan tradisional ala suku dayak.
Lahang tak kuasa untuk memilih. Antara memburu mimpinya bertanding di GPMB atau
harus merawat sang ayah yang bertambah parah sakitnya.
Anak-anak menakjubkan itu lahir dari berbagai latar
belakang. Tak ada yang pernah menyangka
keputusan untuk masuk dalam sebuah tim marching band akan membuat hidup mereka
berubah. Sebuah awal yang menjadikan impian mereka tinggi melangit melintasi
tugu monas. Menembus segala batasan yang selama ini mereka alami, memecah keyakinan
mereka bahwa hanya anak Jakarta yang bisa berprestasi.
Dari hambatan jadwal yang padat, berat dan keras,
Elaine, Tara, dan Lahang tetap berusaha meraih mimpi mereka sambil mengatasi
rumitnya masalah kehidupannya masing-masing. Rene yang keras kepala membuat
anak-anak harus berusaha yakin dengan kemampuan diri. Akankah kegigihan dan
perjuangan, grup Marching Band ini berhasil memenangkan kompetisi tingkat
nasional?
Buku ini berkisah tentang perjuangan, kerja keras,
impian, kerja tim, pantang menyerah, pantang mengeluh, keteguhan hati untuk
tetap percaya pada impian. Beberapa istilah agak asing saya dengar, seperti
legatto, cadet band, battery, dll tapi ada penjelasannya di halaman glosarium. Penulis
menguasai tema tentang marching band ini. Salah satu yang saya suka adalah
kecepatan perpindahan konflik dari satu tokoh ke tokoh lainnya tetap tak
mengurangi fokus penulis membahasakan suara hati tokoh-tokohnya. Wajar karena
buku ini memang adaptasi dari skenario film jadi serasa melihat scene film yang
diputar di depan mata.
Tokoh-tokoh dalam novel ini serasa nyata menyuarakan
sebuah harapan. Apapun impianmu, jika kamu berniat untuk menjadikannya nyata,
tak ada alasan untuk mundur ataupun putar arah!. Hambatan tak semestinya
menjadi kendala yang berarti. Ia seharusnya menjadi cambuk agar menjadi lebih keras
menempa diri. Kesulitan bahkan sebesar apapun akan bisa dilalui dengan fokus
pada solusi. Kekuatan tim yang dibangun solid oleh Rene mengingatkan saya akan
ucapannya, tak ada tim yang bisa menjadi hebat tanpa anggota tim. Bagaimana bisa
menjadi tim yang hebat jika hilir mudik pergantian anggota begitu membuat risau
hati Rene?
Rene yang berusaha untuk membenahi tim yang kurang
di sana sini, harus menahan diri untuk tidak marah dan menurunkan egonya.
Sebagai pelatih, Rene harus bisa mengendalikan timnya menjadi apa yang ia mau. Sebuah
perjuangan yang tak mudah untuk membawa seratus dua puluh orang menjadi satu
visi dan satu misi dengannya. Bahkan Rene mau untuk bersusah payah mengunjungi
satu per satu anak didiknya jika mereka tidak datang. Seperti membujuk Tara, menemui ayah Lahang yang sakit.
Ia yang langsung turun tangan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Juga menawarkan
bantuan untuk membawa ke rumah sakit. Padahal rumah Lahang terpencil, sampai ia
mengalami kecelakaan terperosok ke dalam lubang dan kena sengatan lintah darat.
Rene memilih bergegas mengambil solusi terbaik daripada hanya menggerutu karena
jika tidak, tim yang ia didik akan kehilangan keseimbangan komposisi tim dan lagu.
Rene bahkan membuat lima plan solusi saat tau Elaine
dilarang ikut latihan. Menelfon Elaine, menemui ayahnya, bernegosiasi dengan
ibunya, sampai rencana paling mustahil sekalipun, mengajak Ronny untuk
menggantikan Elaine, padahal dia sedang cedera kaki dan duduk di kursi roda. Padahal
Elaine adalah Field Commander, pemimpin tim alias dirijen. Apa yang akan
terjadi jika tim tanpa field commander yang mumpuni? Gemetar saya menyaksikan
Ronny yang mendukung Rene agar tetap tenang, Ronny dengan kursi rodanya berucap
“Mark! Time! Mark! And!”. Ia tetap bersedia bermain meski sakit.
Tak ada kata instan untuk mendapatkan sebuah impian.
Sebuah perjuangan yang tak mudah untuk mewujudkan 12 menit yang menakjubkan. Merayakan
12 menit yang paling berkesan. Part yang saya suka adalah saat dimana Rene
mengajak anak-anak didiknya untuk membayangkan, memvisualisasikan diri mereka
saat akan bertanding. Karena pemenang akan mendapatkan impiannya dimulai dari
memvisualisasikan kemenangan itu.
Think Like A Champion, And Fight Like One! (halaman
305)
Support yang diucapkan Rene membuat saya
membayangkan menjadi bagian tim yang bertanding.
“Ribuan jam kita perjuangkan, demi dua belas menit ini. Demi orang-orang yang sekarang duduk di sebelah kita. Tataplah mereka. Dan, katakan pada mereka, bahwa mereka bisa bergantung padamu. Sadarilah bahwa perjuanganmu tak akan berhasil tanpa kehadiran mereka. Berterimakasihlah, karena dengan hadirnya mereka, impianmu bisa terwujud. Dengan hadirnya mereka, dengan hadirnya kita semua di sini... kita... sudah... menang.”
“Rayakan dua belas menit terbaik dalam hidupmu ini. Bersenang-senanglah dan berpestalah karena dua belas menit ini adalah milikmu.”
Bayangkan ada puluhan ribu jam yang harus
dikorbankan untuk sebuah atraksi selama 12 menit. Hanya 12 menit. Dan jika kamu
percaya pada kemampuanmu, kamu akan meraih impianmu! Because, dreaming is believing,
Vincero!
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Resensi Novel 12 Menit Nourabooks
penuh inspirasi ya mba novelnya..semoga menang ya mba..semangat!!Amin
BalasHapusiya, mba. apalagi perjuangannya itu buat sampe monas bener-bener harus berkorban banyak. dan pas menang, kerasaaa banget. inspiratif. penasaran nunggu filmnya tayang, hehe
Hapusooh ini judul buku yang sempat idposting pakde
BalasHapus