Jendela Dua Mata |
Resensi Buku : Jendela
Dua Mata
Biodata Buku:
Judul Buku : Jendela Dua Mata (Pemenang Cerpen Pilihan
UNSA #1)
Penulis : Hermawan W. Saputra, dkk
Penerbit : deKa Publishing
Tahun terbit : Maret
2013
Halaman : 138
ISBN :
978-602-7915-14-5
Sinopsis :
Kita layak memberi apresiasi kepada para penulis kumpulan
cerpen ini. Semoga buku kumpulan cerpen ini pun memberi nilai bagi dunia. –Bamby Cahyadi
Membaca buku ini, rasanya seperti mampir di sebuah galeri
yang di dalamnya terpajang aneka karya dalam berbagai bentuk dan warna yang
berbeda. Cerita-cerita dala buku ini lebih dari cukup untuk berelaksasi. –Mashdar Zainal
Dibandingkan dengan buku kumpulan cerita yang menumpuk di
toko buku, yang hanya berisi haha-hihi dan absurditas, kisah dalam buku ini
tentu lebih layak bertengger di sana, dan diberi label : Must Read! –Mataharitimoer
Resensi Buku :
Buku kumpulan cerpen hasil lomba di sebuah grup kepenulisan
bernama UNSA ini merupakan sebuah apresiasi tertinggi bagi para membernya.
Kumcer yang berisi hasil seleksi cerpen yang menang setiap bulan itu akhirnya
diterbitkan dalam sebuah buku yang ditulis oleh 12 penulis muda. Masing-masing
menuliskan dengan baik bagaimana sastra yang bisa memrepresentasikan kehidupan
sosial di sekitar mereka. Sastra digunakan sebagai kritik sosial, seperti yang
ditulis dalam cerpen berjudul Jendela Dua Mata.
Kali ini penulisnya, Hermawan, ingin mengungkapkan bagaimana perasaan sebagai bu Marta yang biasa dipanggil bu Mata oleh muridnya. Bu Mata seorang
akuntan yang menjadi kepala sekolah. Ada
kalimat yang menunjukkan kritik sosial yang saya maksud tadi :
“Menurutku, akuntan
hanya bisa menghitung tapi tak bisa mengatur. Hari ini akulah ibu Marta, dan Sartini
adalah jiwanya. Ada beban berat kali ini. Kelulusan anak muridku di ujung
kubangan. Dan akulah penggalinya. Jika
terlalu dalam, punahlah mereka. Mereka harus ujian di kota, karena SD itu tak
mendapat kepercayaan, atau apalah alasannya. Sehingganya aku harus membenahi
anak muridku. Baju lusuhnya, mental dan yang terpenting kendaraan. Huh, mana
mungkin mereka naik gerobak sapi? Sungguh.”
Kritik sosial yang ingin disuarakan adalah bahwa ketika
sebuah tugas diembankan kepada yang tidak ahlinya seperti seorang akuntan yang
ditunjuk sebagai seorang kepala sekolah, maka akan terjadi kekacauan. Juga
tentang ujian akhir sekolah yang kerap kali harus dilakukan di kota dan karena
itu muridnya harus nebeng ujian di sekolah kota yang dipercaya dinas. Inilah
yang disebut kritik sosial dalam sebuah karya sastra. Meski agak rumit untuk
membaca kalimat di awal cerita, namun ending yang tak diduga ini membuat saya
salut dengan penulisnya. Karya sastra telah menemukan jalannya karena menjadi
jalan bagi kritik yang tidak bisa tersampaikan lewat media sekitar kita.
Lalu berikutnya ada cerpen dari Diba Azzukhruf yaitu berjudul
Mozaik Kebun Ilalang. Kritik sosial yang
ingin disampaikan salah satunya adalah pembangunan jalan transportasi darat
yang sulit di Pulau Sumatera.
“Aku akan membawa kampung kita menuju perubahan! Kubuka jalan
dan kuaspal. Tak perlu lagi bersusah payah naik perahu boat enam jam lamanya
untuk sampai ke sini dari Tanjung Pasir
sana. Atau tak perlu lagi menempuh jalan
becek tiga jam lamanya untuk sampai ke Padang Halaban.” (halm 14)
Cerpen berikutnya mengangkat tema AIDS. Kisah yang dijabarkan
oleh Aiman Bagea ini berjudul Pita Merah. Sebuah kritik sosial untuk para
penghujat AIDS karena mengucilkan pelakunya di lingkungan masyarakat.
Menganggapnya sampah tak berguna, meski ia hanya anak kecil tak berdosa.
“Dan kemarin, aku pikir
aku akan mati di tangan mereka. Aku pikir aku akan segera bertemu ayah dan ibu
di surga. Tetapi nyatanya, Tuhan mengirimkan malaikat penolong untukku.
Sungguh, aku sangat senang. Apa itu AIDS? Mengapa mereka menyebut-nyebut AIDS
sambil menunjuk-nunjuk padaku, diikuti wajah mereka yang sangat mengerikan? Apakah sebelumnya aku bernama
AIDS? Tapi, kenapa ayah dan ibu memanggilku dengan nama Bayu? AIDS itu siapa?
Aku ingin tahu. Sungguh!” (halm 59)
Ada 9 cerpen lainnya yang sangat layak untuk dibaca dan
diperbincangkan sebagai pertimbangan bahwa ada dunia yang tak selalu sama
dengan yang kita pijak. Ada orang-orang marjinal yang terasing dalam sebuah
ruang yang dibentuk oleh masyarakat sehingga nafasnya tak lagi bisa
memperjuangkan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran. Penasaran? Must read!
;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung.
Mohon komen pakai url blog, bukan link postingan. Komen dengan menggunakan link postingan akan saya hapus karena jadi broken link. :)