Tarian Hujan
By Ila Rizky Nidiana
“Aku
capek!” kata Nia ketus sambil berusaha melepaskan tangannya dari Rei.
“Aku
capek, aku bĂȘte, aku mau naik ke atas,” kata Nia berusaha melepaskan tangannya
dari pegangan Rei, tapi ternyata cukup susah.
“Nia,
aku tau kamu pasti marah sama aku. Ngambek karena aku gak nemuin kamu di kelas.
Tapi maaf banget. Dengerin aku dulu, ya?” kata Rei penuh harap. Nia cuma memandang Reid
an menarik nafas panjang.
“Aku
capek dengerin kamu, Aku lihat kamu dengan gadis itu pergi tadi siang di kantin
kelas. Cukup, Rei! Cukup sudah kamu membuatku sakit hati!!” Nia mengusap pelan
air mata di pipinya.
“Aku
tahu aku salah. Dengerin dulu, aku mau jelasin semuanya.” Rei mulai putus asa
membujuknya.
Nia
menggeleng pelan. Masuk ke kamarnya di lantai dua.
***
Nia menulis surat di meja belajarnya, sembari
melirik jam di tangannya. Masih ada tiga jam lagi sebelum jarum jam menunjuk
angka duabelas. Nia menyalakan music kesukaan. Everything you do Christian
Bautista mengalun lembut di telingaku. Menemaninya mengetuk-ketuk hati yang
telah lama koyak ini.
Rindu itu masih sama, mengelusup bagai aliran sungai
yang deras. Menuju satu nama. Ada geletar yang mendekapnya. Sentuhan-sentuhan
kata di surat semakin menajam. Lekuk jemari menebar cinta. Seharusnya ini sudah
kulakukan sejak hari itu, Rei. Seharusnya aku mengaku padamu, bahwa satu sisi
hatiku masih merindumu. Aku masih tertambat pada sosokmu, sosok yang kukenal sejak
pertama kali kita berkenalan di MOS SMA.
Satu yang tak pernah aku mengerti mengapa hatiku
masih tertuju padamu. Setelah 4 kali, Rei. Setelah empat kali putus nyambung
yang menyebalkan. Aku menantimu tanpa henti. Sebanyak buliran hujan yang
kulihat jatuh di tepi jendela kamarku, sebanyak itu pula rindu masih memburu ke
dalam detak hatiku.
Adakah kau mendengarnya?
Jiwa pandanglah
aku dengan cinta
Setiaku yang
mengekalkan warna surga
Namamu bergema
di celah jendela
Hujan
membaringkan sajakku di tepi hati
.
Mendadak daun daun masak menjawab semuanya
Mendadak daun daun masak menjawab semuanya
Tawa dan ceria
kita
Masih sama
digenggam wangi dunia
Malam pun
berisik meneduh
Lafal ayat
menggenapkan sayap janji kita
Aku melepas jemariku dari lembar suratku. Detakan
jarum jam melepaskan sentuhan terakhirku.
Seharusnya surat ini telah sampai kepadamu. Tapi sampai kini aku tak
tahu bagaimana menghubungimu. Gengsiku lebih besar dari rasa cintaku. Rei, kau
dimana?
Alunan tarian jemariku ini untukmu, Rei. Untukmu
yang kupeluk rindu. Dialog kita telah mengudarakan pinta. Ada edelweiss yang
kusimpan di kamarku dan cangkir kopiku yang masih hangat. Diluar hujan
turun berdenting. Satu-satu mengemas
cinta di hatiku.
Aku paling suka hujan seperti ini. Setidaknya aku
bisa mengenangmu. Aroma tanah membasah. Aroma
yang mengkaribkan hujan. Nyanyian yang sama polanya. Tarian hujan
seperti episode mengepakkan sayap. Ada bidadari bertabur cahaya warna-warni
bergulir melekat resah dan menari meniti pelangi.
***
Kau tak pernah kalah karena mencintai seseorang,
tetapi akan selalu kalah ketika tak mengatakan bahwa dia adalah yang terindah
dalam hidupmu. Mencintai dalam kebencian yang bergelut dengan debaran hati yang
sering tak karuan. Kerap membingkai senyuman dan mengunci kenangan yang
membahagiakan. Kenangan kita di sekolah.
Dua tahun ini Nia pindah rumah. Pindah lima ruas
jalan dari rumah sebelumnya. Mama memilih rumah baru ini karena lebih nyaman
ditempati,selain karena tak bocor dan lebih lebar. Lantainya ada dua juga. Rumah
ini rumah baru. Suasana baru. Tetangga baru. Yang terakhir itu, Nia suka! Malam
ini ia tidak bisa tidur. Belum biasa dengan suasana baru. Kilatan cahaya. Ah! Akan hujankah? Namun
tidak ada gemuruh yang terdengar.
Nia menatap jendela kamarku. Di luar ada sosok
laki-laki berjalan mengitari rumah. Nia kaget. Tak biasanya ada orang yang
mondar mandir di sekitar rumah. Jangan-jangan orang mau usil. Nia mengamati
dari jendela kamarnya. Tiba-tiba bunyi bell berdentang keras. Di rumah tak ada
siapa-siapa, kak aga dan mama sedang pergi. Nia turun perlahan sambil
membetulkan letak sweater merah kesayangannya.
Crekkk!!
Bunyi suara pintu terbuka. Nia kaget. Di hadapannya
berdiri laki-laki itu. Rei. Iya, Rei! Nia tak percaya. Berkali-kali ditatapnya
laki-laki itu tanpa berkedip. Dan Nia memastikan itu memang Rei. Laki-laki yang
dia sukai di sekolah dulu.
“Nia, aku
sedang mengumpulkan keberanian untuk menemuimu. Untuk meminta maaf“
“Minta maaf?”, tanyaku heran.
“Iya, aku minta
maaf. Atas kesalahanku dulu. Bolehkah? Aku ingin kita seperti dulu, sama-sama
lagi. Tertawa bersama. Menangis bersama. Aku ingin menetap saja. Dalam rumah
hati kita. Aku tak akan memilih yang lain, Nia” Ucap Rei terbata. Wajahnya memancarkan
senyum yang indah.
“Maukah kau
menjadi kekasihku lagi? “ lanjutnya lagi.
Nia tersentak. Degup jantungku mendadak berdentum cepat.
“Tapi..”
“Aku ingin
kamu. Itu saja, Nia. Mau kan?”
Nia mengangguk.
Rona wajahnya berpadu senja yang menguning di balik cakrawala. Senja kota
Bandung. Kota kita, Rei
***
Semarang, 121211, 08:10
Nb : cerpen lama, hahaha. Jaman kapan itu, La? :p Mau dirombak jadi novel tapi kok males.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung.
Mohon komen pakai url blog, bukan link postingan. Komen dengan menggunakan link postingan akan saya hapus karena jadi broken link. :)