Biodata Buku :
Judul : Beasiswa di Bawah Telapak Kaki Ibu
Penulis : Irfan Amalee
Terbit : Juni 2013
Penerbit : Mizania
ISBN : 978-602-9255-51-5
Rate : 4/5
Endorsment :
“Irfan menulis dengan riang. Namun berhasil mengajak kita melihat, merekam, dan memaknai sesuatu dengan lebih men dalam. Keluasan ilmu, kerendahan hati, dan kecintaan, itulah yang membuat karya Irfan AmaLee ini menjadi penting untuk Anda miliki.”
—Ust. Budi Prayitno, trainer dan life-storyteller
“Kita semua harus bersyukur bahwa Irfan AmaLee akhirnya memutuskan untuk membagi pengalaman hidupnya lewat buku ini. Buku ini bukan hanya untuk para pencari beasiswa, tapi jauh lebih luas dari itu, bagi mereka yang ingin membuat hidupnya kaya penuh makna. Tidak ada satu bab pun dalam buku ini yang tidak memberikan inspirasi. Irfan AmaLee bukan saja menunjukkan kalau Islam itu indah tapi dia membuktikan bahwa hidup itu akan indah jika kita membuatnya menjadi indah!”
—Maulana M. Syuhada, penulis 40 Days in Europe, kandidat doktor Lancaster University, UK
“Membacanya, mataku langsung berkaca-kaca. Ada haru dan semangat yang berkobar. Buku ini bagai cermin kecil ke sa yangan raksasa yang haus pengalaman. Cermin yang mam pu membuat raksasa terharu, tersenyum, bahkan tertawa hing ga tersulut semangatnya. Goodluck, Bro!”
—Ali Muakhir, seorang book creator peraih Adikarya IKAPI dan ayah 3 “malaikat” hebat
“Lewat gaya bahasa yang asik dan kisah-kisah menggelikan, buku ini bikin kagum dan ‘ngiler’ ingin studi ke luar. Dari kecil saya sudah berkeinginan pergi ke Jepang tapi harus lewat bea siswa. Kadang ragu dan khawatir, tapi di buku ini saya di ingatkan bahwa pertolongan-Nya pasti datang, mengubah yang sulit menjadi mudah. Satu hal penting, doa restu orangtua yang tak mungkin dipisahkan dari langkah kita ke mana pun perginya. ‘7 Tips Praktis’-nya wajib dicoba, semoga tahun depan saya mengalami hal-hal luar biasa pula di Hokkaido, tempat saya melanjutkan studi.”
—Aulia Fajar Rahmani, mahasiswi Teknik Lingkungan ITB
“Seperti untuk restu ibu, tidak ada kata terlambat untuk men dapatkan beasiswa. Hati-hati membaca buku ini: Akan ada super-kebelet yang memaksamu segera berburu beasiswa! Irfan AmaLee emang jagonya bikin envy!”
—Fahd Djibran, penulis, peraih beasiswa Australia Awards 2013
Resensi Buku :
Akhirnya nulis resensi ini juga. Buku Beasiswa di Bawah
Telapak Kaki Ibu adalah buku yang saya beli saat ke Semarang beberapa bulan
lalu, tapi baru sekarang selesai dibaca, hehe :D Saking banyaknya tumpukan buku
yang belum disentuh.
Btw, buku ini ditulis oleh Irfan Amalee sebagai jawaban atas
berbagai pertanyaan beberapa temannya yang sering menanyakan tentang pengalaman
selama belajar di Amerika. Ia mendapatkan beasiswa IIEF setelah beberapa kali
mengirim aplikasi. Tak semudah membalikkan telapak tangan, beasiswa itu ia
dapatkan setelah ibunya ikhlas melepasnya berkelana ke negara asing yang jika
ditilik dari geografis letaknya jauh dari tempat ibunya tinggal. Awalnya sang
ibu tak mau memberi restu, ia meminta Irfan Amalee untuk belajar di Autralia
saja. Itu pun dengan berat hati, ternyata setelah aplikasi beasiswanya ditolak,
tiba-tiba sang ibu memberi restu. Ternyata setelah itu beasiswanya dimudahkan,
meski keridhaan ibunya adalah isyarat karena sang ibu akan meninggal, meninggalkannya
ke tempat yang lebih jauh.
Buku ini memuat beberapa kisah yang dipaparkan dengan manis,
ceria dan inspiratif. Penulisnya menuliskan seperti berkisah pada seorang
sahabat yang telah lama tak ditemui. Berbekal restu ibunya, Irfan membawa
impian untuk hidup di Amerika, menjadi perantau dengan membawa serta anak dan
istrinya. Pengalaman demi pengalaman ia tuturkan dengan rinci. Saya merasa
diajak berkelana mengikuti kisahnya dari mulai pencarian beasiswa hingga ia
kembali ke tanah air.
Buku ini berisi kumpulan hikmah yang ia ambil selama hidup
dan studi di Amerika bermodal doa orang tua. Dengan 21 pengalaman, 13 pelajaran
dan 7 tips praktis untuk mendapatkan peluang beasiswa. Saya sengaja membacanya
pelan-pelan karena memang seperti yang ditulis di endors bagian depan buku,
buku ini memang memberikan hikmah di setiap babnya. Setiap bab memberi hikmah,
hingga sayang sekali untuk dilewatkan begitu saja. Dari 21 cerita, ia memang
hanya menulis 1 cerita tentang belajar di kampus. Lainnya adalah pembelajaran
yang ia alami di kehidupan nyata selama di Amerika. Seperti misalnya saat ia
bekerja sebagai asisten tukang bangunan, asisten chef sushi, bertukar pikiran
dengan atheis, kristen dan yahudi, bergaul dengan kelompok sekuler hingga sufi,
dll. Segalanya dituangkan agar pembaca mendapatkan perenungan dan inspirasi
selama membacanya.
Ada beberapa kisah yang menarik hati saya, seperti saat penulisnya
yang jago desain memberi clue pada istrinya agar saat wawancara aplikasi visa,
sang istri bisa dengan mudah menjawab. Apa jawaban sang istri ketika menjawab pertanyaan
pewawancara itu? Dengan menunjukkan tiga kertas berisi gambar jawaban yang
ingin disampaikan. Bahasa gambar adalah bahasa universal yang dengan mudah
diterima oleh pewawancara.
Pertanyaan pertama berisi tujuan datang ke Amerika, maka sang
istri memberi gambar yang ada tulisan “I miss you, Dad”, “We are family” yang
dilengkapi dengan gambar toga tanda mahasiswa, love dan pesawat. Pertanyaan kedua
tentang bagaimana istrinya mensupport studi suaminya, ia pun menjawab dengan
memperlihatkan lembaga ford foundation, IIEF dan full scholarship, ini
mengindikasikan bahwa seluruh kebutuhan akan ditanggung oleh sponsor beasiswa.
Lalu pertanyaan ketiga bagaimana support finansial untuk keluarga selama di Amerika, maka sang istri memberikan gambar istri dan dua anak dengan celengan Bank of Amerika dengan nominal sesuai ketentuan imigrasi. Maka, setelah semua
jawaban dipenuhi, visa family reunion pun diberikan.
Lalu kisah lainnya adalah saat Irfan Amalee memberikan
penjelasan tentang kasus konflik di poso yang sedang menjadi pembicaraan
hangat, ia dengan mudah menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Satu
kuncinya adalah : sederhanakan masalah agar mudah diceritakan pada orang lain
seperti seorang guru TK yang bercerita pada muridnya. Ya ternyata semudah itu.
Lalu ada lagi kisah saat ia berkunjung ke sebuah pedesaan
yang letaknya dua jam dari jantung kota Boston. Ia mendapatkan pengalaman
berharga dari orang-orang yang bekerja dan hidup dengan prinsip yang diajarkan
oleh David Thoreau bahwa : “Kemewahan bukan hanya tidak perlu, tapi juga jadi
rintangan meningkatnya derajat manusia. Hiduplah sederhana. Maka hidup tak akan
jadi rumit.” (halm 169)
Pengalamannya tentang menyederhanakan masalah membuat saya
paham sebenarnya hidup tak serumit yang kita pikirkan jika kita fokus pada
solusi, bukan pada masalah. Penyerahan diri orang-orang yang ada di desa tempat
Thoreau dilahirkan itu membuat saya paham apa makna ikhlas ketika seluruh
ladang kena hama para petaninya tak bersedih malah sumringah mencabuti tanaman
yang mengering.
Ada lagi kisah lainnya seperti bagaimana ia mampu membiayai
hidup keluarganya dengan bekerja paruh waktu di restoran sushi, lalu bekerja menjadi
tukang bangunan. Ia mendapatkan pengalaman berharga mengintip kehidupan
orang-orang amerika yang telah mencapai the American Dreams langsung dari dapur
mereka, lalu kisah para kurawa berburu makanan di masjid-masjid dan seminar
mahasiswa. Ini mahasiswa banget yak. xD.
Lalu kisah tentang dokter yang rindu memeriksa pasien, karena
di Amerika biaya kesehatan mahal harganya yang kadang tidak tercover oleh
asuransi yang diberikan sponsor beasiswa, maka harus hati-hati saat
memeriksakan diri ke dokter dan menandatangani perjanjian penanganan pasien.
Buku ini memang berisi dua bagian dengan konsep buku bolak
balik, satu bagian bercover warna biru dan satu bercover warna kuning. Bagian
satu tentang kisah hidupnya yang berisi hikmah saat bersinggungan dengan
masyarakat Amerika, lalu bagian kedua tentang tips dan kisah beasiswa para sahabatnya.
Di buku ini juga ada beberapa bagian yang disisipi dengan quote
berwarna biru yang membuat kita mudah menemukan quote tersebut sebagai inti
dari hikmah yang ingin disampaikan. Quote yang saya suka ini :
“Jika Allah sudah ada di hati, dunia itu akan ada di belakang kita, mengejar kita.” (halm 125)
“Saya hanya ingin mengenakan apa yang Rasul kenakan. Alasan lain, iman saya tak begitu kuat, pakaian ini membuat saya malu untuk melakukan hal-hal yang tak pantas.” (halm 124)
“Jika tak tahu harganya, kita sulit menghargainya.” (halm 73)
“Ali ibn Abi Thalib pernah ditanya mengapa manusia tidak mau mati. Ali menjawab, “Karena manusia sudah membangun rumah di dunia sementara dia belum membangun rumah di akhirat.” (halm 109)
Lalu, ada juga doa saat kesulitan hidup ia alami. Seperti
misalnya saja doa yang satu ini : “Ya Allah tidak ada yang bisa menghalangi apa
yang Engkau beri dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah.”
Tips di buku ini cocok untuk para pencari beasiswa tapi
hikmah kehidupannya bisa diserap oleh semua orang. Satu yang agak saya
sayangkan adalah saya kesulitan membaca barcode yang tersebar di buku ini
sehingga saya hanya bisa memberi 4 bintang untuk buku ini. -_-a Entah, sayanya
kali ya yang gaptek. Haha :P Ada yang bisa bantu gimana cara baca barcodenya?
:D
Nb : ini resensi bukan ya? Haha. Saya lebih suka menyebutnya resume xD
penasaran mbk,judulnya menarik sekali hehe
BalasHapus