Dua bulanan ini saya banyak membaca buku bergenre teenlit dan anak. Sebanyak 49 resensi sudah ditulis dengan macam-macam genre, hanya saja, saya merasa kurang greget saat menulis resensinya. Pas dicek lagi, saya jadi ingat komentar saya waktu adek saya nanya tentang pendapatku untuk buku tertentu. Saya komen gini. "Ya, lumayan. Ada kurang di bagian ini, bagian itu". Lalu, adek saya bales komen, "Kamu kayaknya ga pernah komen bagus sih. Selalu saja ada kurangnya." Trus abis itu saya ketawa. Eh, apa iya ya?
Belakangan cara berpikir saya jadi berbeda. Dan ternyata hal ini terjadi karena saya menempatkan diri sebagai seorang pembaca, penulis dan editor sekaligus bukan lagi seorang resensor. Tugas resensor adalah mempromosikan sebuah buku agar menarik pembaca untuk membeli, lebih mirip begitu sih menurutku. Kadang ada bagian yang serasa "gula-gula". Ini kalo resensornya memang pengen dimuat di media dan diapresiasi penerbit.
Hanya, saat dua bulan itu, saya merasa lain. Saya justru menempatkan diri berbeda. Anggap saja saya sebagai penulis, saya sedang ingin meriset buku apa yang kira-kira menarik minat pasar, saya membandingkan satu buku dengan buku lainnya untuk mendapatkan inti sari dari genre tersebut. Apa yang kira-kira idenya unik dan apa yang kira-kira idenya sudah terlalu biasa ditulis. Sehingga saya akan membuat catatan penting tentang buku itu.
Lalu, sebagai editor, saya belajar untuk menilai kekurangan sebuah buku, hingga paham konsep buku itu seperti apa. Saya menulis rinci di buku, meski tidak seluruhnya ditulis di blog. Dan sebagai pembaca, ada rasa tak puas ketika buku yang saya anggap awalnya bagus ternyata "Kok biasa aja ya? Yang salah di mana ya?". Saya jadi suka tanda tanya.
Dan begitulah sekarang saya rasanya kehilangan esensi. Sebenarnya saya menulis resensi untuk apa? Rasanya bukan lagi untuk mendapatkan sebuah hadiah lagi. Tapi lebih kepada saya menemukan konsep buku, saya belajar selingkung penerbit, saya juga belajar menerapkan editing dan memilah bacaan yang menyenangkan bagi diri saya sendiri. Salahkah jika hal ini justru terjadi? Entah ya.
Lalu, sebagai editor, saya belajar untuk menilai kekurangan sebuah buku, hingga paham konsep buku itu seperti apa. Saya menulis rinci di buku, meski tidak seluruhnya ditulis di blog. Dan sebagai pembaca, ada rasa tak puas ketika buku yang saya anggap awalnya bagus ternyata "Kok biasa aja ya? Yang salah di mana ya?". Saya jadi suka tanda tanya.
Dan begitulah sekarang saya rasanya kehilangan esensi. Sebenarnya saya menulis resensi untuk apa? Rasanya bukan lagi untuk mendapatkan sebuah hadiah lagi. Tapi lebih kepada saya menemukan konsep buku, saya belajar selingkung penerbit, saya juga belajar menerapkan editing dan memilah bacaan yang menyenangkan bagi diri saya sendiri. Salahkah jika hal ini justru terjadi? Entah ya.
kk seorang editor di salah satu penerbit di indonesia? bener begitu? ._.
BalasHapuskalau baca genre teenlit jadi bisa tau abg2 sekarang ya
BalasHapusBelajar memang membuat cara pandang kita pun berkembang ya, Mbak. BTW banyak banget buku yang udah dibaca & diresensi... Jadi ngiri deh :D. Aku masih agak kesulitan membuat resensi yang baik, Bukannya resensi itu tak hanya penilaian kelebihan bukunya saja, melainkan memuat kekurangannya juga? Aku masih kurang pengetahuan nih buat bisa mengkritik buku dengan baik :D.
BalasHapusResensor yg berpihak pada pembaca Mbak. Obyektif, justru itu lebih menarik... menurut saya sih. Klo rangkuman yg dibuat menarik sih,... ya gitu2 kurang plus plusnya.
BalasHapus