The Best Things in Life are Free (credit) |
Hari itu Rosa
menulis di blognya tentang seorang yang ingin mengikuti kelas kepribadian. Rosa
nanya apa ada yang tahu referensi buku bertema pengembangan diri. Dan saya
ingat, dua orang teman yang saya kenal baik sejak zaman kuliah, sudah merekomendasikan
satu judul buku, the 7 habits of highly effective people
jauh-jauh hari sebelum ini. Jadi berbekal ‘kata teman’, saya komen di postingan
Ocha. Bilang kalau ada beberapa judul buku yang bisa jadi referensi.
Saya tahu dua
orang teman itu sekarang pencapaiannya melesat jauh. Dari segi apa pun. Well, ya... apa pun. Baik ekonomi,
karir, keluarga, dll. Kayaknya hidupnya ayem
tentrem, jauh dari masalah. Ingat hal itu, saya jadi malah tertarik untuk
tahu seperti apa bukunya. Wekeke, ngerekomendasiin tapi sendirinya belum baca.
:P Akhirnya, setelah nyari sana-sini, saya beneran dapet bukunya di sebuah
lapak toko buku ol dengan harga 35 rb saja. :D *jingkrak-jingkrak* *makasih yaa, Toko Komikkita*
Setelah baca,
ada beberapa point yang menarik, seperti : proaktif, merujuk pada tujuan akhir,
dahulukan yang utama, menyeimbangkan unsur P/KP, berpikir menang/menang,
prinsip komunikasi empatik, dll. Kalo kata penulisnya, Stephen R. Covey, jika
pembaca ingin mendapat manfaat sebaiknya langsung praktik. Nah, saya bingung
dong mau praktek model gimana. Ada banyak sebenarnya ‘masalah’ yang bisa menjadi
bom suatu saat, seperti kata Stephen, hubungan yang tidak berjalan baik,
seringkali menyita perhatian kita. Bahkan harta dan karir yang tinggi pun tidak
bisa diselamatkan jika kunci dalam sebuah hubungan berantakan.
Lalu, saya
ingat lagi. Masalah terbesar selama ini, yang sering mengambil porsi dalam satu
tahun terakhir. Trus, saya mencoba bertindak seperti yang disarankan Stephen.
1. Masalah utama di rumah adalah ketika adek kecil
saya marah-marah karena hal sepele, seperti misal : keinginannya tidak
dituruti, baik dalam hal yang sebenarnya dia bisa lakukan sendiri, atau hal-hal
lain. Sepele. Tapi reaksi saya kadang pengen ngomel-ngomel. Keluar tanduknya.
Haha. Inget banget setiap kali ga sesuai dengan prinsip yang saya pegang, saya
langsung bilang. “Ga boleh. Pokoknya ga usah.” Tanpa memberi penjelasan panjang
mengapa ga boleh. Misal larangan nonton sinetron yang ‘ajaib’, minum sambil
berdiri, dll. Dan here we go! Hari
itu, Ilham ngutak-utik hp, minta nonton dongeng nusantara bertutur. Padahal itu
sore. :P Kebayang dong, pake kuota seadanya eh mau buat nonton 41 eps.
*pingsan* Jadilah saya bilang, “Kuota datanya terbatas lho. Padahal aku lagi
ngirit. Jangan sekarang ya, kalo besok pagi boleh. Puas-puasin berapa episode
pun gpp, asal pagi.” Trus dia nanya, “Kenapa harus pagi?” “Kuota paginya masih
banyak, mau dipakai bolehlah monggo.” “Kenapa banyak?” (wew, dasar anak-anak,
banyak nanyanya ya. =))) Trus saya jawab, “Iya, promonya kayak gitu. Mau pake
besok aja?” Trus akhirnya dia dengan sukarela beneran matiin koneksi hp. Dan
syalalalala, tanpa marah sedikit pun. Ngutip kata Stephen,
sebagai orang yang ingin orang lain melakukan sesuatu hal untuk kita, kita yang
harus mengambil empatinya lebih dahulu. Memberi pemahaman dengan baik.
Tujuannya agar angsa yang kita pelihara bisa menghasilkan telur emas tanpa
menyiksa si angsa dengan perintah ala bos besar. Dalam hal ini, angsanya “ilham”,
dan telur emasnya “hubungan baik, dituruti kata-kata nasihatnya” Ya, satu kasus
sudah sedikit membaik. Alhamdulillah. :D
2. Masalah kedua : saya jarang banget bisa
basa-basi sama orang, terutama tetangga. Hiahaha. X) Soalnya buat saya rasanya
terganggu aja gitu setiap saat bisa saja menerima tamu tanpa melihat waktu.
Meski malam sekalipun, harus mau terima tamu, apalagi kalo udah urusan ‘rukun
tetangga’. Dulu ada orang berantem di jalan raya, dan pintu rumah digedor buat
manggil bapak sebagai ketua RT. Ada lagi jam waktu tidur masih harus menerima
orang buat curhat ini itu dari masalah bikin ktp, pindahan rumah sampe bikin
sertifikat tanah. Ya, masih bisa ditolerir, tapi setiap kali ada yang datang
dan bapak pas ga ada, saya dan ibu yang buka pintu. Dan menerima “rasa kecewa”
si tamu ketika bapak ga ada di rumah. Itu yang bikin saya jadi males buka
pintu. Biasanya saya cuma bilang,”Bapak
lagi pergi keluar, pak. Mungkin jam sekian ada di rumah.” Tapi sore itu ada
dua orang datang mau urus KTP. Sebenernya saya masih ragu apa bisa ya
menerapkan apa yang ditulis Stephen. Tapi akhirnya nyoba juga. Saya bilang
hal yang sama tapi ditambah dengan kata-kata, “Nama bapak siapa ya? Nanti saya sampaikan ke bapak saya, kalau ada
orang yang nyari tadi sore.” Dan, yeah! Ternyata berhasil. Orangnya pulang
dengan mata berbinar-binar. Mungkin karena jawaban saya dianggap lebih bikin
hati legowo. :D
3. Masalah ketiga : klub buku yang mati suri.
Sebenarnya klub buku ini udah lama, dari tahun lalu jalan. Sayangnya karena
perubahan personil, juga jarangnya komunikasi intens, bikin klub ini jadi kayak
hidup enggan mati tak mau. Saya sampai bilang sama temen-temen, saya nyerah
ngurusin klub ini seolah-olah seperti saya yang ngurus sendirian. Yang lainnya
ga bergerak. Kalau terus-menerus begitu saya pikir lebih baik dinonaktifkan
alias dibubarkan. Tapi ternyata ada yang mau ngganti jadi koordinator. Itu pun
jalannya dengan terseok-seok. Saya tahu sepertinya ada yang harus dibenahi. Dan
melihat jabaran masalah yang ditulis Stephen, saya ingat lagi bahwa komunikasi
yang saya lakukan selama ini seperti ala bos. Padahal saya sama-sama rekan
kerja. Beberapa orang masih merasa bias dengan visi dan misi yang mau dibawa
oleh klub. Itu yang bikin komunikasi tak mengarah kemana-mana. Ini juga yang
bikin klubnya jadi vakum berapa bulan. Ketika akhirnya saya membuka kran
komunikasi lagi tanpa memberikan pressure di penekanan hasil, akhirnya bisa
jalan lagi. Pinjem istilah Stephen, pake prinsip menang-menang agar paradigma
kesalingtergantungan juga akhirnya timbul dalam interaksi yang dijalin. Buat
saya, mengumpulkan orang dengan beragam latar belakang sepertinya butuh waktu,
kesabaran, komitmen dan sekali lagi lebih banyak pemakluman dengan
mengedepankan win-win solution.
Anyway, apa ada yang pernah ngalami hal seperti ini juga? Kasih
saran dong, kali aja bisa diterapkan di situasi seperti yang saya alami. :)
Hal yang sama terjadi juga ke aku lho Kak Ila. Tapi aku sih lebih sering cuek dan nggak mau tau aja. Salah satu di antaranya adalah, kegiatan ekskul. Minggu ini kami (tadinya) mau ngadain pelantikan anggota, tapi masalah muncul saat yang bikin proposal nggak tahu-menahu sama tugasnya sendiri. Dari beberapa minggu lalu sih bilangnya bakal cepet cair, eeeehhh... masih ada aja yang belum selesai, anggaran-nya lah, susunan-nya lah, ribet deh.
BalasHapusTerlebih, dia lebih sering nggak mau merhatiin orang kalau lagi ngomong. Aku ngomong ini, dia malah liatin hp atau liatin pacarnya di seberang. Gimana nggak kzl coba? Ya udah, aku sih nggak mau tau aja, mau jadi atau nggaknya ini acara. Bukan lepas tanggung jawab ya, tapi kan setiap orang punya porsi dan tugas masing-masing yang udah ditentuin sejak awal. Harusnya sih, (harusnya), setiap orang juga bekerja sesuai fungsinya kan?
Yaaah, ini bukan ngasih Kak Ila saran sih ya, lebih kepada aku pengin cerita juga soal ini. Mungkin ada rekomendasi harus kuapakan? *lha malah minta saran* >w<
Heheheheh penggambarannya sampah marah lalu keluar tanduknya
BalasHapusHahahaha mencerahkan dan unik mba
Ila, karakternya mirip denganku tapi aku sulit mengubah karakter yg sudah menjadi bagian diriku itu La :D
BalasHapusMba Ila sebenarnya bisa belajar banyak dari ayah ibu, melihat dan memahami cara menghadapi org lain ala mereka. Ada suatu kondisi dimana org lain yg membutuhkan kita butuh jawaban kepuasan walau bersifat sementara tapi itu menenangkan dan itu telah berhasil dilakukan oleh Mba di no 2..ya, kadangkala kita harus berempati tanpa mengorbankan diri sendiri dg bersikap dg menyampaikan perkataan yg menyenangkan..
BalasHapusJika sedang emosi karena ulah banyak org. Endapkan dalam hati. coret-coret di kertas, apa yg menjadi masalah. saya meyakini setiap masalah pasti ada celahnya yang bisa dimasuki. Kalo Mba pernah menyaksikan film "Saving Mr. Banks"..Mba bisa belajar mencari solusi atas ketidaksepakatan walt disney dan pamela travers..and guess it. He success! Walt DIsney memasuki-menelaah masalah dengan memelajari karakter org dan mencoba menghargainya.
mbak, oot... kok tulisannya tumben kecil2 banget?? *pelototin mata*
BalasHapusJadi penasaran pengen baca buku nya juga
BalasHapuskok tiba-tiba kayak pencerahan gitu ya bagi masalah-masalah kita wkwk
sukses selalu, mbak ila ^^
Masalah yang kedua itu dulu terjadi pada saya, terus terang dan bicara apa adanya, lama-lama kok merasa kurang seni ya, lalu berubah sedikit demi sedikit, terutama setelah menikah :)
BalasHapus