First reader atau pembaca pertama biasa digunakan oleh penerbit untuk menyeleksi apakah konten naskah yang akan diterbitkan sesuai dengan yang diharapkan. Awal tahu tentang first reader ini saya pikir kriterianya agak menyebalkan. Ya, seperti misalnya kenapa harus usia 'segitu', misal untuk buku teenlit harus seusia anak sekolah. Atau yang metropop harus yang memang usianya lajang tapi belum nikah. Meski kamu maniak teenlit pun tidak akan diterima jadi first reader. Dan, ternyata ini bukan hanya sekadar syarat pelengkap. Tapi karena beneran berguna untuk mengetes segmen pasar calon buku yang bakal diterbitkan.
Seorang teman penulis malah bilang kalau ia suka menulis buku anak dan sebagai tes pasar ia sodorkan calon bukunya ke anaknya sendiri. Anaknya disuruh baca sampai habis, trus ngomentarin mana yang kurang. Kalau anaknya bilang ngebosenin, kurang ini itu, well ya, dia bakal ubah apa yang kurang. Setelah saya baca buku anak yang ditulis oleh anak dan membandingkannya dengan buku anak yang ditulis oleh orang dewasa, emang beda lho. :D
Orang dewasa cenderung menjejalkan banyak hal atau hikmah ke dalam cerita anak-anak. Alih-alih mengembangkan imajinasi, menebarkan canda, dan happy ending. Si buku malah mirip kisah yang menggurui. Saya ngerasain sekali bedanya buku yang ditulis oleh anak-anak. Daya imajinasinya kelewat tak tertebak. Cara becandanya pun beda. :D
Pernah suatu hari saya ajakin Ilham ke perpus. Pas saya akhirnya pinjam buku anak yang ditulis oleh seorang yang saya tahu beliaunya emang jago di buku anak, trus Ilham baca pas di rumah, saya kaget mendengar komentarnya.
"Bukunya ga bagus.", ucapnya sambil meninggalkan buku itu.
Saya bengong. Haha. Karena saya tahu orang yang nulis buku itu udah senior. Nah tapi kok komentarnya gitu? O_o Setelah saya baca, saya baru ngeh. Gaya bahasanya kelewat ketinggian untuk seorang anak. Hikmahnya dapet, bukunya oke secara konten. Tapi bahasanya tidak menyasar anak usia 11 tahun. Ya, ini yang kurang ya. Anak-anak punya areanya sendiri yang sulit untuk dimasuki oleh orang dewasa yang memakai bahasa orang dewasa. Anak-anak tetap anak, mereka punya kesukaan pada imajinasi, tapi menjejalkan hikmah pada buku agaknya bukanlah pilihan yang tepat.
Setelah saya membandingkan dengan beberapa karya penulis best seller buku anak, saya jadi tahu ada lagi perbedaannya. Anak-anak adalah objek yang 'polos'. Ia bisa tidak tahu tentang sesuatu yang sebenarnya sangat sederhana. Misal : apa itu marah, apa itu kasih sayang?
Saya baru sadar ini memang khasnya anak-anak setelah saya sempat keceplosan tentang 'bajakan' saat Ilham nanya kenapa di kota saya ga ada bioskop. Anak-anak tidak tahu tentang arti kata 'bajakan', dan alih-alih menjelaskan, saya justru ga nemu kata yang tepat. Jadi saya alihkan obrolannya ke hal lain. Heuheu.
Ini pun sama ketika seorang anak bertanya pada ibunya tentang "Umi, apa pacaran itu?" Cegluk. Saya yang ada di kursi belakang mobil terbengong. Entah tahu dari mana, tapi anak-anak memang menyerap apa saja yang ada di sekitarnya mirip spons. Sangat mudah menyerap apa pun. Beware ya buat para emak dan kakak yang punya adek kecil. :P
Hm, balik lagi ke first reader. Agaknya, penerbit jarang menerapkannya. Hanya beberapa yang saya tahu. Jadi, mungkin lebih baik kalau ada penulis yang menyasar genre yang bukan genre usianya, bisa pinjem mata temennya atau sodaranya yang seusia itu. Jauh lebih ngena untuk hasil apakah tulisannya memang sudah sesuai segmen pembaca.
Nah, kamu pernah ngalami hal ini juga? Share dong di komen. :D
Nice topic and very well written mba kiki :D
BalasHapusBbrp penerbit yg saya tahu memang punya kebijakan untuk memiliki first readernya sendiri memang berhasil nerbitin buku2 bagus sesuai pangsa pasarnya dan laris manis.
iap, bener...
BalasHapusaku gak tau komen apa...
tapi y ditulis uda semua :D
saya baru tau kl teenlit itu first readernya juga harus anak2 muda,iya juga ya hehe. semakin banyak tahu nih mbk^^
BalasHapusWah bener jugaaa ya mbak... jadi paham deh..
BalasHapusAku sih jarang baca buku karya anak2, semacam KKPK. Ternyata gitu ya... Anak2 punya seleranya tersendiri.
BalasHapusoke,, oke,,
BalasHapusIla,,, main duonk ke sini
belum pernah ngalami begini masih mbak Ila :)
BalasHapusBener banget bu, pertanyaan anak2 sering kritis. Bila anak saya bertanya 'hal-hal nyeleneh', maka saya menjawab sesuai nalar mereka. Anak saya yang usia 10 tahun udah saya ajak ngobrol masalah 's.. education'. Karena dia pernah lihat temannya bawa hp berisi video mesum. Memang tantangan globalisasi bikin ibu2 sport jantung. Yah, kita memang harus 'imunisasi pikiran' anak sedini mungkin karena 'virus' pemikiran bertebaran dimana-mana.
BalasHapusUntuk mendapat hasil maksimal mungkin perlu dicoba caramu ini, Mbak. Biar tepat. . .
BalasHapusdan aku baru negrti apa itu first reader...Jadi ada bekal kalau nanti mau nulis buku, kalau first reader itu harus dipersipakan dgn baik pula
BalasHapusWah baru tahu loh kalau anak2 lebih suka dengan buku anak yang ditulis oleh penulis anak (bingung sendiri bahasanya) hahaha, dan baru tahu juga kalo first reader itu harus sesuai dengan pangsa pasarnya, keren banget Mba sharingnya :D
BalasHapusAq sempet kepikiran ini juga La waktu baca buku anak yang ditulis anak2. Begitu sederhana dari segi bahasa, materi dan nilai2, ya khas anak2 lah. Begitu baca buku anak yg nulis orang dewasa, jadi mikir, apakah anak2 yg baca ngerti yg dimaksud buku ini
BalasHapuswaduh dah berapa tahun ya aku nggak pernah baca buku keseringan baca blog sih
BalasHapus