Aku mencintaimu. Masih sama seperti dulu. Mungkin lebih tepatnya rasa itu bernama sayang. Bukan cinta. Karena cinta bisa hilang secepat kilat menyambar. Karena cinta artinya harus memiliki, sedang kamu sudah bukan milikku lagi. Aku tahu saat kamu sekarang duduk di sudut coffee shop di ibukota, saat itu kamu sedang bersama seseorang. Dan orang itu bukan aku. Dia adalah calon istrimu.
Perpisahan ini berarti aku dan kamu tak akan pernah bisa saling menyayangi lagi. Karena rindu yang menggebu itu harus sirna. Iya, apalagi kalau bukan karena kamu telah menambatkan hatimu pada satu perempuan cantik itu. Perempuan yang sedang mengajukan namamu pada ayahnya. Aku menyerah. Dan aku tahu di mana hatiku harus tertambat. Hanya pada Tuhanku tempat aku menangis dan berharap.
Dua hari lalu, aku bertanya padamu, "Apa kamu masih ada rasa padaku?" Pertanyaan bodoh yang seharusnya tak pernah kutanyakan. Kita. Ya, aku dan kamu. Sekarang hanyalah dua orang asing yang saling bersikap manis hanya untuk membuat masing-masing dari kita tak terlalu terluka untuk kedua kalinya.
Aku yang lebih banyak diam di pertemuan itu dan kamu yang lebih banyak bertanya tentang kondisiku. Baikkah? Sehatkah? Apa kabar hatimu kah? Atau kapan nikah? Ah ya, apa aku juga mau cari seorang anggota angkatan seperti sahabatku itu? Haha... Aku cuma diam. Lebih banyak diam. Kemarin aku melihat nama, sebuah nama yang membuatku jatuh cinta(lagi) di jurnal seorang teman. Pun, kamu juga ternyata sama. SGA. Seno Gumira Ajidarma. Kamu mengagung-agungkan nama itu di hadapan dunia.
Aku jadi teringat, dulu sekali. Saat aku pertama kali menggenggam lembar Bibliography -newsletter dari penerbit GPU -Gramedia Pustaka Utama, nama penulis yang juga wartawan itu yang membuatku berhenti lama menatap lembaran halaman belakang kertas selebar koran itu. Ingin beli bukunya, tapi hanya bisa menatap lesu karena sisa usang jajanku sudah terpakai untuk membeli buku-buku diktat SMP. Nama itu, nama yang membuatmu jatuh cinta pada puisi, dan membuatku jatuh cinta pada melankolia. Sama seperti mba Asma Nadia, penulis favoritku. Iya, kan?
Ah, balik ke cerita kita. Tanyamu "Menurutmu?", hanya membalikkan kisah yang berputar-putar ulang di kepalaku. Aku. Kamu. Sudah terpisah 1,5 tahun. Pertemuan terakhir kita adalah pertemuan kejutan. Aku menyebutnya pertanda. hmm.. mungkin, eh, entah yaa...
Aku tahu. Seseorang akan datang ketika aku tersesat di jalanan kota, sendirian dan itu kamu. Seseorang akan menunjukkan arah jalan yang benar ketika aku hampir kebingungan menemukan laju arahku lagi. Seseorang itu kamu. Seseorang itu kamu, yang selalu berjalan di sampingku saat aku butuh naungan.
Pertanda itu. hmm... Kamu tahu?
Aku pernah bertemu seseorang di SMU dulu, saat masa-masa MOS berlangsung, seseorang yang dengan gilanya menyodorkan ide "Sini deh... aku aja yang tandatangan, kan toh sama aja." sambil menarik buku tugas MOS ku. Heii, aku nungguin tandatangan kakak senior OSIS yang lain, mba Muti, mba Diah, bukan kamu. Bukan seseorang yang sok tau datang dan menjadi pelindungku. Seseorang itu, mirip bayanganmu. Ah, entah.. apa itu benar kamu?
Pertanda itu, muncul lagi. Kamu, dengan pedenya bilang.
"Tau nggak, sejauh apapun jarak kita, kamu dan aku pasti bertemu lagi, entah di mana pun, atau siapapun yang memulai pertemuan lebih dulu".
Kamu dengan semua "kegilaanmu" dulu.
Edellweis, sekotak coklat toblerone, sebungkus sari roti rasa coklat, kisah cinderella sendal jepit di kantor, satu foto copi kartu ATM kampus, selipan ucapan terimakasih dan doa di sela buku, juga sapaan gilamu "jeleekk.." eeww, apaaa gituu...
Orang bilang, cinta pertama adalah racun. Candu yang bikin kangen. Tapi, yang aku tahu kini, ingatanku tentangmu perlahan sudah menghilang. Buktinya, aku hanya menulis lembar-lembar kata yang aku buat tulisan ini untuk mengenangmu. Seharusnya lebih banyak ya? Hanya saja, lidahku sudah kelu, dan hatiku sudah letih untuk bertanya pertanyaan yang sama. Kini, aku menunjuk Tuhanku sebagai pembimbingku, agar kelak akan ada seseorang yang datang. Yang akan mengisi lembaran-lembaran sejarah baru yang tertuang di kitab hidupku. Karena aku tahu, Tuhan akan memberikan orang terbaik itu padaku saat aku dalam keadaan lebih siap. Kuharap itu tawakalku, karena aku tak pernah ingin mendahului takdirNya dengan menyebutkan satu nama padaNya. Karena aku tahu, bahwa Dia-lah sebaik-baik tempatku berharap pengganti dirimu.
Kemarin saat aku bertemu denganmu, bukanlah hari yang benar-benar hebat. Tapi cukup manis sehingga membuatku tersenyum. Sekali lagi. Terima kasih, Tuhan… Karena itu artinya, hatiku sudah lapang.
napa nggak dibikin buku mbak??asik banget baca ini,pas di kaimat terakhir langsung mbatin, yah,kok udah selesai gini ^^
BalasHapusManis banget kata-katanya nih, La. Cocok deh dijadiin novel :D
BalasHapusEh iya saya pikir jg fiksi..kata2nya manis
BalasHapusBerasa baca novel. Keren mbak^^
BalasHapus