Surga
yang Sudah Kita Tahu
Semalam,
saat saya akan mengajar anak-anak di bimbel, bapak bilang sesuatu. “Minta
tolong diajar ya. Bapak mau berdoa.” Karena anak yang berangkat sekitar 7 orang
jadi kelas bakalan riweuh kalau ibu yang ngajar sendirian. Saya ada jatah ngajar
anak SMP tapi cuma dia aja. Jadi masih bisa ngajar anak kelas lain.
Balik
ke soal doa tadi, saya kaget dengan pilihan kata yang dipakai bapak karena kata
berdoa itu saya mikirnya bapak mau datang ke tahlilan orang meninggal.
Trus
bapak bilang,
“Itu
lho, bapak mau berdoa buat anaknya mas S.”
Karena
terkejut dengan jawaban bapak saya tanya balik.
“Lho,
anaknya mas S kenapa?”
Bapak
jawab, “Dia nggak bisa jalan udah setahun lebih. Sampai nggak sekolah juga.
Diusahakan pengobatan alternatif pun belum sembuh juga. Makanya ini mau berdoa
sama-sama biar diberi kesembuhan.”
Lalu
saya ingat tentang si Mas S ini. Mas S dulu termasuk keluarga orang yang
berada. Saya heran sekaligus ngeri dengan cara Tuhan memberi hal-hal yang di
luar prediksi pada manusia. Begitu mudah membolak-balik nasib manusia dengan
sebegitu ekstrimnya.
Setahun
yang lalu, anak mas S, sebut saja namanya K. Si K ini sakit parah di tulang punggung
yang bikin dia sampai nggak bisa berjalan hingga 1 tahun lamanya. Si K terpaksa
harus duduk di kursi roda. Dengar-dengar penyebabnya adalah syaraf kejepit.
Syaraf ini yang ngaruh ke syaraf di kaki dan sampai sekarang si anak harus
menjalani berpuluh-puluh kali terapi ke dokter bahkan ke pengobatan alternatif.
Saya
nggak bisa membayangkan gimana perasaan sepupu saya itu karena dulu anaknya
sehat walafiat. Hanya karena lama bermain game itulah yang bikin syarafnya terjepit.
Lalu mengalirlah uang tabungannya ke rumah sakit untuk berobat. Saya dengar dia
bolak-balik pergi ke Semarang bahkan hingga harus memesan kamar kos dekat RS untuk
anaknya karena pengobatan di dokter RS Karyadi harus mengantri lama. Karena
janjian dengan dokter memakan waktu beberapa bulan sebelumnya, belum lagi jika
sudah terapi harus bolak-balik rutin ke RS.
Di
saat itulah saya ingat lagi. Berapa kali ya saya ngeluh soal hal-hal yang jadi
ujian buat saya berapa hari ini. Rasanya kok nggak sebanding dengan sakitnya si
K ini. Kasian kan nggak bisa jalan bahkan terpaksa harus berhenti sekolah. Boro-boro
buat mikirin harga mobil baru murah yang biasanya dicari para pasangan muda. Mas S
ini justru harus menjalani ujian yang berat saat usia anaknya masih di bangku
sekolah dasar. Saya tahu si mas ini punya anak yang lain. Tapi anak yang lagi
sakit ini adalah anak pertama. Yang seharusnya jadi tumpuan keluarga.
Saya
ingat kembali dengan seorang teman SD saya. Anak kecil itu sakit epilepsi,
berkali-kali kambuh di sekolah dan akhirnya harus cuti sekolah juga. Buat orang
lain dia sudah dianggap nggak ada harapan lagi karena hanya bikin ulah di
sekolah. Tapi buat orang tuanya dia masihlah anak-anak yang akan menjadi
permata ayah ibunya.
Selepas
ujian apa pun yang datang pada keluarga, kita akhirnya tahu bahwa hanya
keluargalah tempat pulang yang sebenarnya. Tempat di mana hanya mereka yang mau
menerima kita apa adanya, tanpa syarat atau embel-embel apa pun. Di rumah,
surga yang kita tahu adalah tawa dan tangis yang berbarengan di hari-hari yang
terlewati. Tapi saya yakin ujian akan menguatkan hidup menjadi pribadi yang
lebih tahan uji di kemudian hari. Semoga
anak mas S segera sembuh seperti sediakala. :)
Rumah memang selalu jadi tempat terbaik untuk berpulang.
BalasHapusIya, mas. :)
HapusJudulnya mirip bukunya Mas Fahd Pahdepie mbak :D
BalasHapusMemang ambil judul dari Fahd, mba. Tapi memang ada bukunya? Dulu cuma tahu itu artikel aja.
Hapus