Pages

Minggu, 26 Februari 2017

Dilema Banjir di Musim Penghujan

Tadi pagi saya main ke balaikota lama untuk hunting kuliner dan jalan-jalan. Sambil belanja juga sih, pengin lihat apa ada barang yang sesuai selera saya. Berangkat udah agak siang, jam 8 an, padahal biasanya jam 7 udah ke sana. Sampai balaikota lama dekat kantor Polisi Tegal, saya terkaget karena hampir semua tanah berumput yang biasanya dipakai untuk jualan kini jadi seperti kolam ternak ikan.

Si adek yang saya ajak pun bilang, “Wah, jadi kayak kolam tambak. Trus gimana ya kalau tasnya pada jatuh.”, ucapnya sambil nunjuk barang dagangan berupa tas yang tetap dipajang di etalase gantungan besi meski bagian bawahnya banjir setinggi 10-15 cm an. Si penjual tetep ikut becek-becekan di situ. Duh, saya yang lihatnya kok sedih ya. Semalam memang di kota Tegal hujan deras banget sampai beberapa titik jalan raya banjir setinggi 50 cm an. Bisa kebayang kan kalau orang yang rumahnya deket sungai, bisa ikut kebanjiran deh. :(


Di jalan raya dekat balaikota lama, penjual meluber di tepian jalan, sampai macet parah, mau nyebrang aja nggak bisa. Kebanyakan milih di jalan aja karena tempatnya udah banjir dan nggak mungkin naruh barang dagangan di etalase seperti si bapak pedagang tadi, karena rata-rata orang jualan biasanya pakai tikar, nggak pakai gantungan besi.

Banjir di Tegal sering terjadi jika hujan turun deras sepanjang hari dengan intensitas tinggi. Kadang malah beberapa jam aja sudah bisa banjir parah, tapi karena sistem drainasenya kurang bagus, jadi ya begitulah. Ada beberapa titik yang rawan banjir, saya sendiri juga pernah kena banjir di daerah dekat pasifik mall, pas nyampe ke suatu jalan raya lain lha kok nggak kebanjiran sama sekali. Aneh deh. Huhu



Pikiran saya melayang pada analogi ketika seseorang punya masalah. Misalnya tas kanvas pria milikmu ternyata rusak di bagian saku depan. Tapi karena mikirnya toh belum rusak parah, nggak perlu dibenerin dulu. Masih bisa dipakai kok. Lha, setelah dipakai terus menerus padahal udah sedikit rusak, akhirnya yang rusaknya dikit itu jadi makin parah. Ya, analoginya suatu masalah kecil nggak akan jadi masalah besar kalau segera diselesaikan dengan baik.

Kecepatan seseorang merespon masalah seringkali berbanding terbalik dengan kondisinya. Kalau belum rusak banget mungkin belum bakalan mau dibenerin deh. Kan aneh ya. Padahal andai bisa dituntaskan segera, pasti masalah itu tidak akan datang lagi. Setidaknya meminimalisir masalah itu menghambat kerja lainnya. Kalau nggak segera diselesaikan ya masalah itu akan muncul lagi dengan intensitas yang lebih sering dan akhirnya membuat lebih rumit.

Saya jadi ingat nasihat seorang teman yang bilang,
“Ila, kalau kamu ada masalah, apa kamu akan mengurangi nilai dirimu?”
“Maksudnya?”
“Ya, kalau kamu ada masalah apa kamu akan segera menghadapinya dengan berani, atau kamu lebih memilih menghindar agar masalah selesai dengan sendirinya?”

Saya bilang saya lebih memilih yang kedua. Ya, itu jawaban saya 7 tahun lalu. Saya pikir masalah akan segera selesai jika didiamkan saja. Tapi saya salah besar. Masalah akan makin meruncing jika tidak segera dicarikan solusinya. Hanya orang itu yang paham masalahnya yang bisa menyelesaikan sendiri. Cari solusinya. Hadapi masalahnya.

Teman saya lalu mengatakan sesuatu yang membuat saya tertegun lama di telepon.

“Kalau saya punya masalah, saya nggak akan lari. Saya akan menyelesaikannya, meski risikonya saya akan menjadi orang yang berbeda di mata orang lain. Tapi lebih baik menjadi seseorang dengan nilai diri 10 B, daripada harus menurunkan nilai diri saya dari 10 dikurangi 5 hingga hanya jadi bernilai 5. Saya nggak mau cara saya menyelesaikan masalah justru membuat saya menjadi orang yang nilainya rendah. Saya lebih suka menjadi versi saya yang lainnya di hadapan orang itu, asal masalah cepat selesai dengan cara baik.”

Hari itu saya tertegun, tapi rasanya nasihat itu masih sering terngiang ketika saya punya masalah. Pendapatnya soal menyelesaikan masalah dengan cepat dan mengakui kesalahan kalau memang ada, itu jauh lebih baik daripada masalah tidak segera selesai. Seperti yang tadi saya bilang, analogi teman saya ini bisa dilakukan di banyak hal. Dalam praktiknya ini berat, mengakui bahwa ada yang salah dan harus dibenahi, ya... mulai dari diri sendiri. :')

Dalam kasus banjir di kota, tak perlu menyalahkan pemerintah. Masyarakat harus secara sadar mulai membersihkan selokan sebelum musim penghujan datang, dan tidak membuang sampah sembarangan. Atau cara paling aman ya dengan mengantisipasi kondisinya. Misal semalam sebelumnya hujan deras ya tidak perlu memaksakan diri untuk berjualan jika tempatnya tidak layak. Lebih baik cari tempat lain, atau solusi lain yang tidak membuat kondisinya lebih mengenaskan. Well ya, ada banyak cara untuk menyelesaikan suatu masalah asal mau mikir solusinya. Yang terpenting hadapi, hadapi dan hadapi. Karena Tuhan kalau lagi nguji seseorang biasanya akan berulang kali sampai orang tersebut dinyatakan lulus ujian.  Begitulah.


#noted to my self

4 komentar:

  1. Begitulah manusia, sedikit-sedikit langsung nyalahin pemerintah. Padahal itu sebab dari perilakunya sendiri.

    BalasHapus
  2. Kalau saya lihat kondisi masalahnya, memang ada yang kudu harus wajib diberesin saat itu juga... ada yang harus dihindari dulu. Tapi kalaupun harus dihindari dulu, bukan berarti membiarkan masalah selesai dengan sendirinya sih..

    BalasHapus
  3. Depok juga mulai sering banget hujaaaann :'(

    Tapi alhamdulillah belum sampai banjir sih mbak. Baru becek becek aja. Pun ada genangan palingan gak lama nanti surut lagi

    #PrayForIndonesia
    #PrayForBanjir

    BalasHapus
  4. kendal sampe longsor n banjir bandang di sukorejo

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung.
Mohon komen pakai url blog, bukan link postingan. Komen dengan menggunakan link postingan akan saya hapus karena jadi broken link. :)