Quote of The Day

Selepas musim yang berganti, cara terbaik untuk memudahkan syukurmu terlantun adalah dengan menyederhanakan harapanmu hari ini.

Jumat, 03 Maret 2017

Tentang Menjadi Sempurna di Mata Orang lain

Tentang Menjadi Sempurna di Mata Orang lain

Kejadiannya sudah lama berlalu, sekitar 5 tahun yang lalu. Saya nggak tahu kalau akhirnya persahabatan yang lama terjalin ujung-ujungnya putus juga karena sesuatu. Saya bikin sebuah kesalahan, yang anehnya bukan ditegur secara personal tapi sahabat saya justru menggunjing di belakang. Sampai orang yang nggak pernah interaksi aja jadi tahu saya salah apa dan yang bikin sedih mereka memusuhi seakan mereka orang yang paling sempurna sedunia. Hari itu pintu kamar kos dibanting oleh tetangga kamar. Saya sedih dan marah, tapi nggak tahu mau marah sama siapa. Mau marah sama sahabat saya karena bersekongkol sama teman sekos? Mau marah sama kesalahan saya yang di mata mereka sudah absurd banget? Mau marah sama Tuhan karena menempatkan saya di posisi yang nggak menyenangkan hati?

Hari itu saya tahu saya harus pindah segera, pulang ke rumah. Tidak peduli apakah urusan saya di kota itu sudah selesai atau belum. Marah dan kecewa karena ternyata sahabat yang sudah tujuh tahun kenal masih belum bisa mengingatkan dengan cara baik justru menjauhi ketika ada masalah. Bahkan dengan cara yang bikin nggak nyaman. Saya pulang, mengangkut semua barang sendirian. Dari lantai dua sampai di teras rumah.

Hari itu saya tahu, mana yang benar-benar sahabat, mana yang bukan. Hari itu saya tahu, saya sudah terluka dalam sekali. Saya sulit memaafkan orang karena perlakuannya. Beberapa bulan kemudian saya ketemu dengan anak kos yang menghuni lantai yang sama dulu. Dia bilang sesuatu yang malah bikin luka saya semakin dalam. Bukannya membaik. “Mbak Ila nggak mau ketemu dengan A lagi? Dia kan sudah berbaik hati selama ini bantuin mba.”

Perasaan yang muncul saat itu malah jadi makin runyam. Jleb. Memangnya saya separah itu suka minta-minta bantuan orang? Memangnya dia nggak ikhlas bantuin sampai diungkit-ungkit lagi? Yang bikin sedih, saya merasa bukan saatnya sekarang untuk memperbaiki keadaan. Saya memilih menghilang dan tetiba tahu beberapa bulan kemudian ibu dan adiknya meninggal. Saat ditelpon, dia bilang sesuatu yang bikin saya merasa aneh. “Kenapa kamu pindah tanpa bilang dulu? Aku kan jadi nggak bisa bantuin pindahan kamu. Kamu ngangkatin semuanya sendiri?” Saya merasa terluka, tapi nggak tahu musti gimana. Nyalahin keadaan yang bikin saya jadi merasa seperti orang asing? Padahal sama sahabat sendiri?

Hari ini saya mengalami hal yang sama. Tetangga yang bikin masalah jadi semakin rumit, padahal sebenarnya nggak separah itu juga. Kali ini tentang kucing yang pup sembarangan, padahal setiap hari juga udah saya sapuin. Apa dia pernah nyapuin halaman? Nggak. Yang ada dia ngomel-ngomel karena nganggap dirinya priyayi dan nggak mau berurusan lagi dengan kucing. Hari ini saya jadi ingat lagi kejadian sama sahabat yang itu, karena kejadiannya sama. Saya punya salah, tapi mereka nggak mau bilang secara personal. Justru menggunjingkan di belakang. Nyinyir yang bikin saya jadi makin sedih. Kenapa nggak bilang langsung aja, bukannya itu lebih baik? Bukannya bergerombol membicarakan kesalahan orang di belakangnya.

Hari ini saya sadar, bahwa sebaik apapun kamu, semua kebaikan akan menghilang ketika ada satu kesalahan yang dipermasalahkan. Padahal nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini, nggak ada yang nggak pernah punya satu pun kesalahan yang nggak bisa diperbaiki. Padahal, saya lebih suka diingatkan dengan baik-baik, secara personal. Bukannya membuka aib di belakang lalu menikam. Dan lupa dengan cepat karena menganggap itu nggak ada masalah. Kamu tahu, lukanya masih ada. Masih berbekas. Sampai saya kini sulit sekali percaya dengan persahabatan yang terlalu erat. Takut dikhianati karena pernah merasakan hal itu. Saya tahu kalau saya begitu terus mungkin saya nggak akan pernah percaya orang lain. Entahlah. :)

4 komentar:

  1. Paling g enak emang ya ketika menegur dng cara seperti itu, tp emang bener sih sering kali kebaikan apapun yg kita buat bisa langsung g berjejak gitu ketika kita melakukan kesalahan...

    BalasHapus
  2. mbak ila, nggak tau ya kok aku sedih bacanya :(
    mungkin juga karena aku pernah berada di tempat yang sama
    cuma bedanya aku bersikap keras dengan dateng dan menegur teman itu meskipun ujung2nya jadi debat dan maaf-maafan tapi lukanya sama aja

    maaf adalah untuk waktu itu tapi aku nggak mau lagi ngasih space lebar buat orang yang nggak bisa dipercaya dan tukang backstabbing
    nggak bersisihan jalan adalah pilihan terbaik meskipun kalau toh takdirnya ketemu dan ngobrol, she's just somebody that i use to know, not kind of friends or the close one

    semoga bertemu dengan orang-orang baik yang mendamaikan hati ya mbak :)

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung.
Mohon komen pakai url blog, bukan link postingan. Komen dengan menggunakan link postingan akan saya hapus karena jadi broken link. :)