Pages

Jumat, 26 Januari 2018

Sindrom Kepemimpinan

Sindrom Kepemimpinan

Beberapa orang mengira jika sudah menjadi seorang pemimpin, terpilih menjadi pemimpin berarti urusan yang ruwet akan segera bisa diselesaikan. Sebenarnya, ada hal-hal di luar perkiraan yang seharusnya sudah mulai dipikirkan bahkan sebelum mencalonkan diri atau menerima ajakan untuk menjadi pemimpin.

view Jakarta dari Monas


Dipinang rakyat, atau pun dipinang organisasi untuk jadi pemimpin nggak gampang loh. Ibaratnya, kamu bakal jadi pemimpin terus semua amanah dipindahin seketika ke bahumu. Apa pun yang terjadi dengan organisasi yang kamu pimpin bakal bikin kamu kepikiran melulu tiap hari, tiap saat, tiap detik.

Ya... Itu yang saya lihat di diri bapak waktu memutuskan jadi ketua RT. Lagi-lagi kepilih jadi RT, yang bikin kami anak-anaknya pengin protes karena beban kerjanya sebagai kepala sekolah sebenarnya udah berat pas di kantor. Ditambah dengan jadi RT ya gimana nggak ngelu. Hahaha. Tapi bapak bilang kalau bukan bapak trus siapa?

Masalahnya, ternyata emang nggak mudah melakukan kaderisasi itu.

Saya berkali-kali diminta buat terjun ke masyarakat, PKK atau kegiatan karang taruna apa gitu, tapi saya nggak mau karena inget dulu pernah melakukan hal yang ya, bisa dibilang salah. Saya kelewat perfeksionis kalau jadi pemimpin. :p *sorry to say, ini kenyataan haha*

Kadang saya mikir saya bisa ngerjain hal A-Z, berarti orang lain juga bisa. Tapi ternyata harapan saya salah. Karena orang lain belum tentu bisa ngerjain sesuai apa yang saya mau. Jadilah proses transisi waktu perpindahan tanggungjawab ke orang baru itu rada susah.

Saya baru ngrasain waktu dulu pegang klub buku dan koordinasi dengan penerbit. Baru ngeh kalau ternyata saya harus ngajari ini itu lagi mulai dari awal banget ke teman yang gantiin posisi saya sebagai koordinator. Jelasin semua masalah dan alternatif solusinya.

Kadang, karena kurang greget hasilnya, saya jadi pengin ikut campur ke dalamnya untuk kelarin masalah biar tuntas. Jadinya serasa ada  pemimpin boneka ya. Padahal aslinya ya nggak, cuma pengin bantu. Tapi ternyata caranya yang salah.

Ya, ini salah satu sindrom kepemimpinan juga. Kalau udah kelar memimpin, rasanya tetep ada yang ingin dipimpin, padahal sebenernya udah kelar juga kan ya. Saya pernah denger kasus semacam itu terjadi sama kepala sekolah yang diturunin pangkatnya jadi guru lagi. Kebiasaan memimpin dulu masih kebawa-bawa walau udah selesai alias purna tugas sebagai kepala sekolah.

Ada juga sindrom kepemimpian lainnya yaitu ingin terlihat bekerja, sehingga merubah tatanan yang sudah baik menjadi malah makin rumit. Saya pikir harus ada transfer visi misi dari pemimpin sebelumnya ke pemimpin baru, juga harus ada sikap legowo untuk mau mengakui bahwa kinerja orang lain di bagian tertentu memang sudah bagus. Jadi tinggal ngelanjutin aja kan ya? Nggak perlu mulai dari nol.

Jadi, saya rasa sebenarnya ketika perpindahan kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepercayaan, dengan mengestafetkan tongkat kepemimpinan kayak kalau kita main lari marathon beregu. Kita percaya bahwa semua anggota tim berjuang sekuat tenaga untuk sampai di garis finish dengan selamat dan cepat dengan menerjang semua hambatan yang ada. Ya, belajar percaya bahwa yang memegang tongkat terakhir kepemimpinan itu memang bisa menjadi penyempurna kinerja teman-teman sebelumnya. 

Saya jadi inget kasus di perang yang dialami Rasulullah dan sahabat. Waktu khalid bin walid disuruh digantiin yang lain. Itu berat banget loh. Karena dulu dia yang memimpin. Ya, sekelas sahabat nabi aja kayak gitu ya, apalagi kita yang nggak belajar langsung dibimbing sama Rasulullah.

Saya jadi inget adegan film Ayat-Ayat Cinta 2, pas Fahri membetulkan bacaan shalat seorang imam. Jadi imamnya salah baca ayat, karena ada yang mirip-mirip bunyi awalnya. Nyambungnya malah ke surat lainnya. Pas bagian ini saya deg-degan, apa endingnya bakal kayak di novel ya? Yang imamnya ngomel-ngomel ga jelas dan pasang tampang kusut karena bacaannya dikoreksi Fahri. Ternyata di film jauuuhh lebih bagus endingnya. Imam masjid tersebut malah merangkul Fahri dan bilang terima kasih karena telah mengoreksi bacaannya. Ya, dia mau ngaku kalau dia salah dan langsung menyadari bahwa hal itu baik untuknya dan juga jamaah shalat yang dipimpinnya.

Pas nonton adegan mereka berpelukan dan sang imam nepuk bahu Fahri, saya trenyuh. Ya... nggak gampang untuk ngaku salah dan mau menerima koreksian orang. Terutama kalau koreksian itu nggak sengaja melukai ego diri. Siapa yang mau dikoreksi? Pasti nggak ada yang mau. Tapi salut deh, karena ketika hal itu terjadi, dia belajar untuk percaya bahwa ada orang baik yang tetap ada di sampingnya untuk mengingatkannya selalu dalam kebaikan.

Dalam kehidupan, adakah orang yang mengingatkan hal tersebut dengan cara baik? Salah satu adab menasehati adalah menasehati di belakang, face to face, nggak pas di depan publik. Kalau di depan publik namanya ngoreksi kebangetan, pengin bikin malu.

I mean, segala hal tentang akhlak yang diajarin sama Rasulullah emang sesuai dengan fitrahnya manusia. Tinggal kita aja yang mengikuti gimana caranya untuk tetap seperti yang seharusnya. Mengoreksi juga bukan yang ngotot gimana gitu, saya tahu itu agak susah.

Dulu pun ada seseorang yang mengoreksi kesalahan saya dan saya masih inget banget gimana menggebunya dia kasih liat kesalahan yang sebenernya saya pun nggak tahu salahnya di mana. Karena starting point belajarnya pun beda. Dia udah belajar sampai mana, saya masih di mana. Jadilah kedua pemahaman itu nggak nemu titik terangnya. Saya yang masih nggak ngerti kenapa dia bilang hal yang saya lakukan salah, dia yang ngotot dengan prinsipnya.

Well ya, ada benarnya anggapan bahwa hal-hal yang baik pun jika disampaikan dengan cara santun dan baik akan mengena di hati, namun jika cara mentransfer pemahamannya salah, pada akhirnya hanya akan berujung pada kesalahpahaman. So, apa yang akan kamu lakukan ketika hal itu terjadi? Share dong di komentar, temans. Semoga bisa jadi bahan pembelajaran kita bersama. :)


PS : ditulis setelah baca-baca timeline yang bahas tentang Mata Najwa episode 100 hari kepemimpinan Anis-Sandi. Kepemimpinan bukan hanya amanah, tapi juga perjuangan, kan?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung.
Mohon komen pakai url blog, bukan link postingan. Komen dengan menggunakan link postingan akan saya hapus karena jadi broken link. :)