Suatu sore,
Hari itu aku membaca pesan seseorang yang dikirim ke
handphone bapak. Tulisannya, “Om, minta bantuannya buat renovasi rumah dong.”
Pesan singkat itu langsung dibalas oleh bapak dengan tindakan, mengirimkan sisa
genteng bekas yang ada di rumah untuk dikirim ke rumah sepupuku itu. Aku yang
mendengar ceritanya dari mama masyghul. Bapak menatanya sendiri, mengirimkannya
ke Slawi, sampai ada insiden saat pengiriman barang pun bapak harus mengurusnya
sendiri. Bagaimana bisa seorang ponakan menyuruh orang tua untuk melakukan
banyak hal untuknya. Semalas itukah dia? Sebobrok itukah akhlaknya? Aku mau
marah tapi malas mengurusnya. Sejak itu jadi tak respek dengan sepupuku itu.
Suatu hari bapak sakit di rumah sakit. Nggak ada satu pun
ponakannya yang ia bantu selama ini datang menengok. Jawabannya hanya, “Aku cuma
bisa bantu doa ya, Om.” Bapak mengangkat telefon dengan nada yang membuatku
miris. “Iya, ora papa. Aku bisa dewek ning kene. Njaluk dongane bae.” Sambil
tertawa tapi menahan tangis.
Aku yang
menunggunya berhari-hari di sini hanya terdiam. Bagaimana bisa orang yang
selama ini dibantu hidupnya, menengok pun saja tidak mau. Nengok aja lho, nggak
butuh duit. Ini bapak masih hidup, belum meninggal. Cem mana pula kalau bapak
sudah nggak ada, mungkin kami putus komunikasi. Itukah yang namanya saudara?
Entah kenapa aku selalu nggak respek dengar cerita-cerita
semacam itu. Keluarga yang saling menggantungkan satu sama lain. Padahal, kenapa
nggak berdiri di atas kaki sendiri? Aku pernah baca tentang kisah bahwa jaman
dahulu para lelaki memang dielu-elukan untuk dijadikan penyokong hidup anggota
keluarga lainnya terutama perempuan yang ada dalam silsilah keluarganya. Itu
budaya jawa yang membuat sistem patriarki menjadikan laki-laki menanggung beban
sekian banyak demi perempuan.
Dalam Islam, memang ada kewajiban menjaga saudara
perempuannya, itu kenapa sistem waris memberikan 2 bagian bagi laki-laki dan
perempuan 1 bagian waris. Tapi berapa banyak saudara yang harus ditopang
hidupnya karena hal itu? Mengapa menggantungkan nasibmu pada orang lain? Mengapa
tidak mengubah kekuatan dalam dirimu sendiri dan berdiri di atas kakimu
sendiri?
Orang-orang financial menyebut fenomena ini sebagai sandwich
generation. Di mana keluarga yang secara ekonomi mapan menopang keluarga yang
tak mampu. Tapi, berapa banyak lapisan yang harus ditopang? Setebal apa lapisan
sandwich yang bisa diisi? Pertanyaan itu membuatku berpikir, kenapa perempuan
selalu distereotipkan dengan ketidakmampuan dirinya mengurus diri sendiri. Jujur,
sedih banget sih liat hal kayak gini.
Nggak sedikit yang ada di sekelilingku yang seperti ini.
Menggantungkan nasibnya dari pemberian orang lain yang masih dalam satu
silsilah keluarga besar. Aku jadi berpikir, bagaimana caranya perempuan agar
bisa berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, berdaya saing tinggi dan mampu
menafkahi dirinya sendiri. Tidak bergantung pada orang lain. Malu jika harus
meminta-minta, malu jika harus menopangkan hidupnya pada orang lain.
Jika pun seorang perempuan pada akhirnya dinafkahi oleh
suaminya, itu tidak lain dan tidak bukan adalah kewajiban laki-laki. Anggap
saja bonus. Tapi perempuan independen dan bisa menghasilkan uang untuk dirinya
sendiri adalah keunikan. Berdiri di kaki sendiri membuat perempuan tidak
bergantung pada orang lain terutama lelaki.
Aku pernah menonton video pengakuan sang pelakor yang mengaku pada
psikolog Deddy Susanto, ia mengatakan bahwa ia memiliki luka batin yang membuat ia ingin
memiliki lelaki yang bukan miliknya. Lelaki itu tidak menikahinya, tapi hanya
memberinya nafkah sebagai bentuk kompensasi.
Di kolom komentar banyak sekali yang menghujat perempuan itu
karena menjadi pelakor demi memenuhi hedonismenya terhadap dunia. Aku tertegun
membaca komentar yang berbunyi, “Perempuan itu cuma berdalih karena sakit hati pada ayahnya,
intinya alasannya dibuat-buat, padahal sebenarnya ia malas saja. Kalau ia tidak
malas bekerja, ia akan jadi perempuan yang tidak bergantung dari uang lelaki.
Dengan ngangkang saja, duit langsung dapat.” Aku tertegun karena komentar itu
benar adanya.
Bagaimana kalau perempuan itu berdikari, ia bisa menghasilkan
uang sendiri, ia bisa merawat dirinya sendiri dari uang yang ia hasilkan dari
bekerja, bukan dari hal itu.. Bagaimana jika ia bisa menghasilkan uang lalu mencukupi
hidupnya sendiri dan berhasil membuat hidupnya lebih bermakna? Aku tertegun
karena ucapan itu benar. Seharusnya perempuan punya daya cipta, menghasilkan
uang sehingga ketika ia didekati laki-laki hidung belang pun itu tidak akan
berpengaruh. Karena ia punya prinsip, karena ia berdiri di atas kakinya
sendiri, karena ia mampu untuk mengurus dirinya sendiri alih-alih selalu
bergantung pada bantuan laki-laki.
Dear perempuan, kamu istimewa, maka istimewakanlah dirimu
dengan banyak hal-hal baik, jadilah ratu untuk dirimu sendiri, dan miliki
mahkotamu sendiri yang akan jadi kebanggaanmu kelak. Dear you, jadilah
perempuan yang mengagumkan dan berharga. Karena kamu adalah perempuan yang
dilindungi Tuhan dan akan dibantu untuk selalu memiliki takdir hidup yang
indah, jangan pernah membuat dirimu jatuh pada hal-hal buruk karena pilihanmu
sendiri. Jadilah seseorang yang menakjubkan, yang mengubah peradaban di
sekelilingmu menjadi lebih baik. Dear
you, kamu indah dan berhak dimiliki oleh laki-laki yang menghargaimu juga.
Aku kadang berpikir, pendidikan bisa mengubah hidup
seseorang. Salah satu ucapan RA Kartini adalah bagaimana caranya bisa mengubah
nasib perempuan dengan pendidikan. Sehingga nasib mereka bisa lebih baik dari
sekadar menenikah lalu selesai. Perempuan, semoga kamu tahu bahwa kamu istimewa, kamu punya potensi. Semoga kamu menyadari hal itu dan membuat hidupmu jadi lebih bermakna.
Pendidikan mengubah hidup banget mbak Ila, jujur. Dan privilese atau priviledge untuk mendapatkan pendidikan itu yang mahal, karena didapat dari keluarga. Keluarga mendidik perempuan untuk berdikari, dan itu terus berputar. Saya setuju banget perempuan mesti berdikari dan berdaya :)
BalasHapus