Quote of The Day

Selepas musim yang berganti, cara terbaik untuk memudahkan syukurmu terlantun adalah dengan menyederhanakan harapanmu hari ini.

Jumat, 20 Desember 2019

Independent Woman


Suatu sore,

Hari itu aku membaca pesan seseorang yang dikirim ke handphone bapak. Tulisannya, “Om, minta bantuannya buat renovasi rumah dong.” Pesan singkat itu langsung dibalas oleh bapak dengan tindakan, mengirimkan sisa genteng bekas yang ada di rumah untuk dikirim ke rumah sepupuku itu. Aku yang mendengar ceritanya dari mama masyghul. Bapak menatanya sendiri, mengirimkannya ke Slawi, sampai ada insiden saat pengiriman barang pun bapak harus mengurusnya sendiri. Bagaimana bisa seorang ponakan menyuruh orang tua untuk melakukan banyak hal untuknya. Semalas itukah dia? Sebobrok itukah akhlaknya? Aku mau marah tapi malas mengurusnya. Sejak itu jadi tak respek dengan sepupuku itu.


Suatu hari bapak sakit di rumah sakit. Nggak ada satu pun ponakannya yang ia bantu selama ini datang menengok. Jawabannya hanya, “Aku cuma bisa bantu doa ya, Om.” Bapak mengangkat telefon dengan nada yang membuatku miris. “Iya, ora papa. Aku bisa dewek ning kene. Njaluk dongane bae.” Sambil tertawa tapi menahan tangis.  

Aku yang menunggunya berhari-hari di sini hanya terdiam. Bagaimana bisa orang yang selama ini dibantu hidupnya, menengok pun saja tidak mau. Nengok aja lho, nggak butuh duit. Ini bapak masih hidup, belum meninggal. Cem mana pula kalau bapak sudah nggak ada, mungkin kami putus komunikasi. Itukah yang namanya saudara?

Entah kenapa aku selalu nggak respek dengar cerita-cerita semacam itu. Keluarga yang saling menggantungkan satu sama lain. Padahal, kenapa nggak berdiri di atas kaki sendiri? Aku pernah baca tentang kisah bahwa jaman dahulu para lelaki memang dielu-elukan untuk dijadikan penyokong hidup anggota keluarga lainnya terutama perempuan yang ada dalam silsilah keluarganya. Itu budaya jawa yang membuat sistem patriarki menjadikan laki-laki menanggung beban sekian banyak demi perempuan. 




Dalam Islam, memang ada kewajiban menjaga saudara perempuannya, itu kenapa sistem waris memberikan 2 bagian bagi laki-laki dan perempuan 1 bagian waris. Tapi berapa banyak saudara yang harus ditopang hidupnya karena hal itu? Mengapa menggantungkan nasibmu pada orang lain? Mengapa tidak mengubah kekuatan dalam dirimu sendiri dan berdiri di atas kakimu sendiri?

Orang-orang financial menyebut fenomena ini sebagai sandwich generation. Di mana keluarga yang secara ekonomi mapan menopang keluarga yang tak mampu. Tapi, berapa banyak lapisan yang harus ditopang? Setebal apa lapisan sandwich yang bisa diisi? Pertanyaan itu membuatku berpikir, kenapa perempuan selalu distereotipkan dengan ketidakmampuan dirinya mengurus diri sendiri. Jujur, sedih banget sih liat hal kayak gini.

Nggak sedikit yang ada di sekelilingku yang seperti ini. Menggantungkan nasibnya dari pemberian orang lain yang masih dalam satu silsilah keluarga besar. Aku jadi berpikir, bagaimana caranya perempuan agar bisa berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, berdaya saing tinggi dan mampu menafkahi dirinya sendiri. Tidak bergantung pada orang lain. Malu jika harus meminta-minta, malu jika harus menopangkan hidupnya pada orang lain.

Jika pun seorang perempuan pada akhirnya dinafkahi oleh suaminya, itu tidak lain dan tidak bukan adalah kewajiban laki-laki. Anggap saja bonus. Tapi perempuan independen dan bisa menghasilkan uang untuk dirinya sendiri adalah keunikan. Berdiri di kaki sendiri membuat perempuan tidak bergantung pada orang lain terutama lelaki.

Aku pernah menonton video pengakuan sang pelakor yang mengaku pada psikolog Deddy Susanto, ia mengatakan bahwa ia memiliki luka batin yang membuat ia ingin memiliki lelaki yang bukan miliknya. Lelaki itu tidak menikahinya, tapi hanya memberinya nafkah sebagai bentuk kompensasi.

Di kolom komentar banyak sekali yang menghujat perempuan itu karena menjadi pelakor demi memenuhi hedonismenya terhadap dunia. Aku tertegun membaca komentar yang berbunyi, “Perempuan itu cuma berdalih karena sakit hati pada ayahnya, intinya alasannya dibuat-buat, padahal sebenarnya ia malas saja. Kalau ia tidak malas bekerja, ia akan jadi perempuan yang tidak bergantung dari uang lelaki. Dengan ngangkang saja, duit langsung dapat.” Aku tertegun karena komentar itu benar adanya. 

Bagaimana kalau perempuan itu berdikari, ia bisa menghasilkan uang sendiri, ia bisa merawat dirinya sendiri dari uang yang ia hasilkan dari bekerja, bukan dari hal itu.. Bagaimana jika ia bisa menghasilkan uang lalu mencukupi hidupnya sendiri dan berhasil membuat hidupnya lebih bermakna? Aku tertegun karena ucapan itu benar. Seharusnya perempuan punya daya cipta, menghasilkan uang sehingga ketika ia didekati laki-laki hidung belang pun itu tidak akan berpengaruh. Karena ia punya prinsip, karena ia berdiri di atas kakinya sendiri, karena ia mampu untuk mengurus dirinya sendiri alih-alih selalu bergantung pada bantuan laki-laki.

Dear perempuan, kamu istimewa, maka istimewakanlah dirimu dengan banyak hal-hal baik, jadilah ratu untuk dirimu sendiri, dan miliki mahkotamu sendiri yang akan jadi kebanggaanmu kelak. Dear you, jadilah perempuan yang mengagumkan dan berharga. Karena kamu adalah perempuan yang dilindungi Tuhan dan akan dibantu untuk selalu memiliki takdir hidup yang indah, jangan pernah membuat dirimu jatuh pada hal-hal buruk karena pilihanmu sendiri. Jadilah seseorang yang menakjubkan, yang mengubah peradaban di sekelilingmu menjadi lebih baik.  Dear you, kamu indah dan berhak dimiliki oleh laki-laki yang menghargaimu juga.

Aku kadang berpikir, pendidikan bisa mengubah hidup seseorang. Salah satu ucapan RA Kartini adalah bagaimana caranya bisa mengubah nasib perempuan dengan pendidikan. Sehingga nasib mereka bisa lebih baik dari sekadar menenikah lalu selesai. Perempuan, semoga kamu tahu bahwa kamu istimewa, kamu punya potensi. Semoga kamu menyadari hal itu dan membuat hidupmu jadi lebih bermakna. 


1 komentar:

  1. Pendidikan mengubah hidup banget mbak Ila, jujur. Dan privilese atau priviledge untuk mendapatkan pendidikan itu yang mahal, karena didapat dari keluarga. Keluarga mendidik perempuan untuk berdikari, dan itu terus berputar. Saya setuju banget perempuan mesti berdikari dan berdaya :)

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar. Terimakasih sudah berkunjung.
Mohon komen pakai url blog, bukan link postingan. Komen dengan menggunakan link postingan akan saya hapus karena jadi broken link. :)