Quote of The Day

Selepas musim yang berganti, cara terbaik untuk memudahkan syukurmu terlantun adalah dengan menyederhanakan harapanmu hari ini.
Tampilkan postingan dengan label mom. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mom. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 September 2009

Membangun sekolah peradaban di rumah kita

Membangun sekolah peradaban di rumah kita



Seorang ibu
adalah atap waktu
di bawahnya anak-anak menuntut ilmu
Peduli padanya
berarti mempersiapkan suatu bangsa
yang keringatnya mengalir penuh aroma
-penyair Nail-



Saya selalu kagum dengan sebuah tulisan yang tak henti saya baca dengan seksama, dan usai membacanya, saya selalu mengakhirinya dengan decak kagum tak terkira.

Tulisan ini ada di dalam buku Segenggam Rindu untuk Istriku, Dwi Budiyanto. Tapi maaf sebelumnya, saya telah mengeditnya sesuai kebutuhan, agar tak terlalu panjang dalam penjabaran. Tulisan yang mengajari saya akan makna sebuah cita-cita peradaban, penuangan visi dan misi yang terintegrasi dengan baik dalam sebuah keluarga. ^_^

Abul Aswad Ad-Duali pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, aku telah berbuat baik kepadamu sejak kalian kecil hingga dewasa, bahkan sejak kalian belum lahir.”
“Sejak kami belum lahir?”
“Iya,” jawab Abul Aswad.
“Bagaimana caranya, Ayahanda?”
“Hmm.. Ayah telah memilihkan untuk kalian seorang wanita terbaik di antara sekian banyak wanita. Ayah pilihkan untuk kalian seorang ibu yang pengasih dan pendidik yang baik untuk anak-anaknya.”

Ya, Dari sinilah cita-cita peradaban dimulai, yaitu sejak seorang laki-laki memilih pasangan hidupnya. Menentukan siapa istrinya, sekaligus menetapkan calon pendidik bagi putra-putranya. Sejak saat itu seorang lelaki, semestinya, telah membuat desain untuk membangun sebuah sekolah peradaban dalam rumahnya.

Itulah sebabnya, Abul Hasan Al Mawardi beranggapan bahwa memilih istri merupakan hak anak atas ayahnya. Beliau mengutip perkataan Umar bin Khattab ketika mengatakan, ”Hak seorang anak yang pertama-tama adalah mendapatkan seorang ibu yang sesuai dengan pilihannya, memilih wanita yang akan melahirkannya. Yaitu, seorang wanita yang memiliki kecantikan, mulia, beragama, menjaga kesuciannya, pandai mengatur urusan rumah tangga, berakhlak mulia, mempunyai mentalitas yang baik dan sempurna, serta mematuhi suaminya dalam segala keadaan.”

Saya merasa inilah tanggungjawab pertama seorang suami, yaitu memilih secara tepat istrinya. Namun, kerja ini tidak berhenti sampai disini, karena ada kerja berikutnya yang tak kalah penting, yaitu kerja pemeliharaan, pertumbuhan , serta penyiapan.

Memelihara, menumbuhkan dan menyiapkan harus menjadi prioritas. Lelaki tak hanya sekedar memilih istri yang memiliki pesona potensi luar biasa. Pesona potensi itu harus dapat dipelihara dan ditumbuhkan agar tidak redup di tengah jalan, terlebih setelah menikah. Suami perlu meningkatkan kapasitas dan kemampuan istri, agar ia memiliki bekal untuk menyukseskan perannya sebagai seorang pendidik.

Sampai disini, kerja-kerja kepahlawanan takkan pernah berhenti meskipun Islam telah menjelma menjadi icon peradaban dunia. Sebuah misi untuk menjadikan dunia benderang dengan cahaya ilahiah.

Betapa niat di awal memilih adalah yang utama, maka menetapkan pilihan yang terbaik untuk menjadi partner sejati dalam menapaki jalan dakwah ini penting dilakukan.

Maka, saya pun setuju dengan pendapat sahabat saya, Asti, tentang arti sebuah pernikahan baginya. “Menikah bukan hanya menyatukan dua jiwa, tapi lebih kepada pembentukan motor peradaban. Bagaimana akan mengelola ummat jika pemikiran dan visi di keluarga tidak terintegrasi dengan baik?”

Jika saya menilik kata “tidak terintegrasi dengan baik”, maka apa yang seharusnya dilakukan? Ya, sebuah komunikasi yang efektif untuk menjembatani antara keinginan dua orang (suami istri) yang berbeda cara pandang dalam menentukan kemana arah peradaban yang akan mereka bangun di dalam rumah mereka.

Kemana harus melangkah, tujuannya harus jelas, dan matang dalam berkonsep serta efektif dalam pelaksanaan. Kesungguhan dalam menjalankan juklak dan juknis ini mutlak diperlukan, karena pada dasarnya sebuah konsep akan tetap menjadi konsep jika tidak dilaksanakan dengan cermat dan tepat.

Konsep tarbiyah yang akan dijalankan merupakan proses mendidik manusia dengan tujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia ke arah yang lebih sempurna. Bukan saja dilihat sebagai proses mendidik saja, tetapi meliputi proses mengurus dan mengatur supaya kehidupan berjalan dengan lancar. Termasuk dalam konsep ini tarbiyah meliputi bentuk fisik, spiritual, material dan intelektual. Proses ini akan mendidik anak untuk dapat menghayati nilai-nilai yang sesuai untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Nah, sampai disini dulu catatan kecil saya kali ini. Beberapa konsep harus dijelaskan secara detail dan butuh referensi mendalam untuk menjadikan maket-maket peradaban itu terwujud. Saya membutuhkan saran darimu, kawan.. Dan tentu akan dengan senang hati menerimanya. ^_^ Trimakasih telah menyempatkan diri membaca catatan kecil ini. ^^

Sekaran, Kamar Cahaya. 24 April ’09, 00:11, ketika menjadi sholeha bukanlah pilihan, melainkan suatu kebutuhan inti. ^_^

Jumat, 28 Agustus 2009

Telaga yang kutemukan di sebening matamu

Ada bening yang terpancar
Ada ketenangan yang terlantun
Ada kesejukan yang mengalir
Lembut..
Namun menggerakkan
Sungguh, ketika kutatap wajahmu
Ada keindahan cahaya
yang takkan tergantikan
oleh percikan cahaya purnama sekalipun


Sejuk, namun menggerakkan. Itu kesan yang saya dapatkan dari orang-orang hebat di luar sana yang begitu menginspirasi saya. Ya, bagi saya, mereka tak hanya cantik atau pun tampan secara fisik, namun juga keindahan jiwa mereka terlihat dari tutur kata yang selalu santun dan tetap menimbulkan wibawa tersendiri. ^^


Tak henti-hentinya saya selalu mengagumi, betapa mereka benar-benar menerapkan keseimbangan antara dzikr, fikr, dan amal yang mengada pada setiap jejak langkah yang mereka pijak di setiap kesempatan.


Lalu, apa yang menarik, hingga tanpa kecantikan -yang menurut kita – it’s soo fisically, bo! Ya, itu cuma soal fisik. Nah, apa yang menarik hati saya hingga tanpa interaksi yang sering pun, saya merasakan kuatnya ikatan-ikatan dengan mereka dalam keseharian?


Tentu, jawabannya menurut saya adalah karena jiwa mereka yang tak henti-hentinya memancarkan cahaya ilahiyah. ^_^


Ya, kedekatan mereka dengan Tuhan, kedekatan itu mirip energi yang tak henti melahirkan kekuatan jiwa tanpa batas. Tak ada kekuatan selain-Nya. Tak ada kesempurnaan selain milik-Nya. Tak ada pula keangkuhan yang patut dipertunjukkan, bila berhadapan dengan-Nya.


Maka, saat energi ketundukan mengada dalam diri, dalam jiwa kita secara inti, kita telah menemukan bahwa kita adalah seorang hamba. Ya, tak lebih, tak kurang, hanya seorang hamba yang tak punya daya selain karena pemberian dari-Nya.


Energi ketundukan, energi tawakal dalam diri, membuat kita menjadi lebih tenang dalam menghadapi apapun, ya... Apapun di dunia ini. Ada kekuatan yang tak henti terpancar, menembus batas-batas rasionalitas. Dan membuat diri menjadi yakin, bukankah tugas kita di dunia ini ‘hanya’ berupaya mewujudkan takdir-takdir terbaik? Maka, selanjutnya, serahkan saja pada sang Pemilik Hidup.


Telaga itu kutemukan di sebening matamu, Bunda...
Telaga yang memancarkan kesejukan
Bagi jiwa-jiwa yang rapuh dan membutuhkan uluran tangan
Sungguh, pesona jiwa yang membangkitkan kekuatan


Pun kini, ijinkan aku untuk dapat selalu belajar darimu, duhai sang telaga bening... Agar aku bisa menghirup aroma surgawi dari kesantunan jiwamu.


Tulisan ini untuknya, sang telaga biruku, “She is my inspiration, and you are too... “ Aku rindu padamu, Bunda... Met Milad ya, Cinta... ^^


Allah, di pembuka malam kini... Kupinta surga untuknya, ya... untuk Bundaku tersayang, pencetak generasi Rabbani, insyaAllah... Kabulkanlah ya Rabb... ^_^


Sekaran, Kamar Cahaya. 10 Mei ’09, 19:48

~saat kurindukan kesejukan bermain dan bercerita bersamamu, Bunda.. ^^~