Quote of The Day

Selepas musim yang berganti, cara terbaik untuk memudahkan syukurmu terlantun adalah dengan menyederhanakan harapanmu hari ini.
Tampilkan postingan dengan label penulis samara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penulis samara. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 November 2011

Detak Hati Bidadari Biru

BAB 2: GEJOLAK HATI


Detak Hati Bidadari Biru
By Ila Rizky Nidiana

"Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu, belajarlah untuk tenang dan sabar."
(Khalifah Umar bin Khattab R.A.)

"Kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa."
(Novel 5 cm, Donny Dhirgantoro)

Aku gadis biasa yang beruntung. Dilimpahi cinta seorang lelaki tampan nan bertanggungjawab. Lelaki yang kukenal dari sebuah organisasi kepemudaan. Lelaki yang berjarak 5 tahun dari usiaku. Cintanya padaku adalah nafas yang tak pernah hilang dilekang waktu.  Ridhanya adalah peluru yang siap mengantarkanku menuju cita-citaku.

Aku membolak balik buku 5 cm karya Donny Dhirgantoro. Ingin rasanya menangis di dekapan suamiku. Tapi aku hanya bisa melepas rasa gelisah itu di dalam hati. Kata-kata itu mengingatkanku kembali pada diriku sendiri. Tiga tahun yang lalu, inilah kalimat yang sakti mandaguna bagiku. Dan sekarang, aku ingin kembali mengobarkan spirit itu. Menjaga azzam, menguatkan hati, dan menebalkan husnudzon kepada Allah.

Aku masih harus bersabar menunggu izin Kakak- panggilanku untuk suamiku- untuk bisa S2 di luar. Ingin rasanya menangis. Usiaku hampir 24 tahun, tapi belum boleh sekolah lagi. Satu alasan yang sering Kakak kemukakan yaitu karena Rania, puteri kecil kami masih dalam golden age. Dan Kakak memang tak bisa menjalani long distance relationship denganku.

Suatu hari aku mengumpulkan keberanian untuk membicarakan ini dengan Kakak. Ingin rasanya dia tahu apa isi hatiku. Lalu berurailah alasan-alasan itu dari bibir lelakiku. Alasan yang membuatku langsung tertunduk malu pada Allah. Alasan yang melepuhkan seluruh sendi-sendi protesku.

"Walaupun Asti masih kecil, tapi Kakak ketergantungan banget sama Asti. Perempuan yang bisa mengubah Kakak hanya Asti. Kakak memang menginginkan Asti bisa kuliah sampai S3 di luar negeri, seperti harapan ibu terhadap Asti. Tapi Kakak mohon jangan pernah jauh-jauh dari Kakak karena Kakak gak bisa hidup berjarak dengan Asti dan Rania. Sabar ya, nunggu Kakak tugas belajar dulu, nanti Asti bisa cari sekolah di negara yang sama.”

“Tapi, Kak…” Belum selesai ucapannya, aku memutus kata-kata Kakak…

“Sayang, lihatlah bagaimana pesatnya perkembangan Rania. Logika berpikirnya, daya tangkapnya, dan kemampuan-kemampuannya yang melebihi teman-teman seusianya. Itu juga karena Asti selalu mendampinginya, membacakan Qur'an dan buku-buku untuk Rania setiap hari, memberinya banyak stimulus.”

Kakak  menghela nafas sejenak. Menatapku diam.

“Kakak hanya minta Asti sabar, mendoakan dan mendukung Kakak. Percayalah, akan ada penghargaan dari Allah karena Asti mendampingi Kakak. Masih butuh berpuluh tahun untuk sampai pada cita-cita kita, dan Kakak mau Asti selalu di samping Kakak.", ditariknya tanganku mendekat ke dadanya. Desir itu… Oh, Allah… Aku pilu menatap wajahnya yang sayu. Kudekap lelakiku syahdu.

Saat itu aku yang tengah galau menanti restunya, hanya mampu terdiam dan menangis berderai-derai mendengar Kakak bicara begitu. Aku tahu, rancangan peta hidup yang telah kami susun tidak lebih baik dari takdir yang telah Allah tetapkan. Tapi aku hanya takut. Ingin rasanya aku selalu memelihara prasangka baik atas takdir yang Allah tetapkan untukku. Tapi logika ini tergelak.

Allah, aku hanya mampu menulis di diary ini. Diary yang mampu membuatku percaya. Kasih kakak tulus padaku. Cintanya adalah segala. Dan ridhanya terpatri di nadiku. Aku dan kakak adalah satu. Utuh. Kami tak bisa berjarak sekian lama, apalagi antar benua.

Aku mengusap air mata yang mengembun di sudut mataku.  Kadang aku lupa dengan ‘sekolah’ yang Allah berikan untukku selama ini, yakni sekolah kehidupanku sendiri. Allah seperti menyentil diriku. Aku yang sangat memimpikan sekolah formal tapi melupakan sekolah yang lebih luas lagi, yakni menjadi ibu teladan dan perempuan yang berkiprah di masyarakat.

Aku masih ingin terus belajar, Kak.
Aku masih ingin mendapatkan kesempatan itu.
Aku ingin menjadi manusia yang terus menimba ilmu
Menimba sebanyak-banyaknya ilmu kehidupan dan menjadi manusia yang bermanfaat sebagai khalifah fil-ardh.

Semakin aku meronta ingin menyegerakan keinginanku, semakin lama Allah menguji, sejauh mana cintaku pada suami berlindung di bawah ketaatan kepadanya dan kepadaNya. Aku yang tak  ingin mengecewakan Kakak, lebih suka memendam rasa ingin ini dalam-dalam.  Sempat aku berfikir kakak sungguh egois, mengedepankan prinsipnya. Prinsip untuk menunda keinginanku sampai puteri kecil kami benar-benar tumbuh sempurna dalam usia emasnya.

Kakak, panggil aku…
Aku ingin segera terbang menggapai benua lain
Agar citaku tak kandas.
Agar asaku tak tergilas waktu.
Agar sayap citaku berhimpun dengan sayap lain di belahan bumi Allah yang lain.

Rabbana, bila ikhlas itu belum jua hadir, ijinkan aku menemaninya mengarungi babak-babak kami berikutnya. Di bawah naungan cintaMu, aku meminta. Lapangkan jalan kami, ya Allah. Dan malam ini aku mengetuk langitMu lagi, menyemai  doa-doa kami yang tak pernah usai. Untukmu, lelaki pilihanku. Aku patuh dan tunduk atas nama cintaku padaMu, ya Allah.

Semarang, 151011, 18:03
~Untuk sepasang sahabat: Asti dan Kak Didi. Semoga Allah menggenapkan doa kalian segera. Aamiin.~
Keis Rania Tsabita Nuryazidi- Cantiknyaaaaa. Ammah pengen cium Rania deh... Hihi... :P

  NB : masih nunggu pengumuman naskah, semoga masuk 60 besar yg dibukukan dari total naskah yang masuk 300-an. Doanyaaa... >:D<