Adegan romantis pasti lazim kamu jumpai di serial drama Korea ya. Adegan romantis seperti menegaskan bahwa perlakuan gentle dan penuh respect akan didapat terutama oleh pihak perempuan dari laki-laki yang dicintainya Tapi, tahu nggak kalau hal itu hanya ada di layar streaming televisi saja.
Gimana dengan realitasnya di Korea Selatan? Apakah perempuan mendapat perlakuan yang sama seperti di drama Korea?
Posisi perempuan di Korsel jauh dari kata ideal. Mereka kerap mengalami perlakuan misoginis dan diskriminatif yang menempatkan mereka pada situasi yang rentan. Saking suramnya, muncul istilah derogatif macam Kimchi-bitch yang ditujukan untuk para perempuan aktivis atau simpatisan feminis.
Fenomena ini nggak lepas dari memanasnya ketegangan gender di Korsel. Terutama sejak gelaran Pilpres pada Maret lalu.
Yoon kandidat presiden dari partai konservatif people power party. Ia menang Pilpres setelah kalah kalijam yang kandidat partai petahana demokratik party dengan selisih kurang dari satu persen suara kampanye dan anti feminis.
Ia berhasil memobilisasi suara pria-pria muda Korsel yang antipati terhadap gerakan feminisme dan kesetaraan gender. Umumnya, pria muda di Korea Selatan percaya adanya diskriminasi gender secara struktural.
Saat kampanye, Jun berencana meninggalkan kuota bagi perempuan di pemerintahan. Kebijakan kuota itu dicetuskan muncul yang naik gantikan parfumy sendiri merupakan presiden perempuan pertama Korsel yang kemudian dimaksudkan gara-gara korupsi
Selain itu, Yun juga berjanji bubarkan Kementerian perempuan di Korsel serta tegaskan sanksi bagi pelapor kekerasan seksual yang dinilai mengada-ngada.
Data menyebut Korea Selatan berada di urutan 99 dari 146 soal kesenjangan gender. Hal ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari ketika misalnya upah pekerja perempuan lebih rendah sepertiga ketimbang yang diterima pria
Nggak cuma upah, kesempatan dan perlakuan terhadap perempuan di tempat kerja juga ambyar. Ini data yang dirilis di ekonomis Korsel menempati posisi buncit selama 2016-2022.
Sejarah dan kultur masyarakat Korea Selatan punya andil dalam membentuk tendensi Misoginis. Hal ini diungkapkan Parkson lewat risetnya yang dipublikasikan pada 2017. Secara genealogi Parkson bilang bahwa narasi Misoginis di Korsel dibentuk oleh kecenderungan sikap represif pria karena keyakinan atas porsi hak yang lebih.
Pria Korsel kerap salahkan perempuan dianggap cemari nilai dasar hingga timbulkan krisis negara, bahkan muncul istilah wayang Nyon yang kurang lebih berarti Jalan.
Istilah ini dapat dilacak dari abad ke-17 merujuk pada perempuan John yang dinilai sudah tercemar sejak kembali dari dinasti King meski asal usul istilah ini enggak sepenuhnya diketahui tapi persekusi kepada perempuan di Korsel Bukannya nggak ada
Abad ke-20, muncul lagi istilah wanita baru yang cenderung mengolok-olok pencapaian perempuan yang peroleh akses pendidikan dan ekonomi. Ya, istilah ini mencibir para perempuan yang dipandang meninggalkan femininitas Joseon tradisi patriarkal dan berubah angkuh lalu lahir yang Gong Ju yang merujuk pada perempuan penghibur yang punya relasi dengan tentara AS.
Makna yang gongju lantas bergeser jadi pekerja "nganu" di zaman modern lagi-lagi ada istilah yang menurunkan posisi perempuan yakni kata ini ditujukan kepada perempuan yang bodoh suka barang mahal dan ingin selalu ditraktir kekasih ya belakangan dipakai untuk merisak kelompok feminis korsel.
Nah lalu apa yang bikin perempuan Korsel jadi sangat kekecewaan bahkan amarah? Salah satunya ya karena tekanan sosial yang tumbuh di masyarakat Korsel.
Penggambaran tekanan itu sering disebut dengan heal jeon yang muncul pada akhir 2000-an.
Konsep ini merujuk pada sistem kelas sosial ala dinasti josan dengan mobilitas antar kelas yang sukar dilakukan akhir 2000-an anak-anak muda pria atau perempuan sulit cari kerja. Namun komplain paling kencang datang dari pria pria muda Korsel yang punya pikiran kalau hidup perempuan jauh lebih baik dan mudah.
Salah satu faktornya karena mereka nggak perlu ikut wajib militer yang butuh waktu 2 tahun, ditambah pemerintah menerapkan kebijakan kuota untuk perempuan yang makin dilihat sebagai ketidakadilan atas pria dalam hal lain.
Banyak pria merasa keberatan karena selalu membayar biaya kencan. Pandangan yang bilang kalau perempuan Korsel nggak menarik juga tumbuh subur sehingga rasa benci pun muncul di forum daring.
Kemarahan ini terus diproduksi kelompok yang menonjol adalah LB. Mereka giat melancarkan propaganda Misoginis ditujukan langsung kepada perempuan Korsel.
Anggota LB percaya akan kesetaraan antara pria dan perempuan tapi merasa privilege perempuan lebih banyak dari pria. Lalu adopsi media sosial mulai mewadahi kontestasi narasi ini.
Feminisme digital di Korsel sebenarnya sudah muncul sejak 1990-an tapi makin prominen saat antagonisme pada feminisme dan feminisme meningkat pada 2015 karena pakai stra mirroring alias melawan misogini dengan Misoginis.
Warisan taktik itu lantas dipakai juga oleh kelompok feminis radikal lainnya umat aktivisme kolektif ini nggak hanya di dunia maya tapi di realita sehari-hari pembunuhan perempuan di Gangnam pada 2016 memicu protes besar-besaran 2 tahun berselang, aktivisme perempuan di Korsel dapat momentum lewat Mito
Poin kritik yang dilayangkan ialah soal kekerasan seksual dan morocca tapi dari situ kata feminis malah jadi bermakna peoratif pada 2018.
Musisi stan e merilis lagu berjudul feminis yang liriknya begitu Misogininis. Lagu itu lalu bikin orang-orang takut disebut sebagai feminis.
Pakar menyebut bahwa gerakan feminis akan menghadapi tantangan lebih besar di era pemerintahan Yun. Ketakutan terbesar lainnya, perjuangan untuk pembunuhan hak-hak bagi perempuan turut bergerak mundur.
Sumber : Narasi Tv Youtube Channel