BAB 2: GEJOLAK HATI
Detak Hati Bidadari Biru
By Ila Rizky Nidiana
"Raihlah ilmu, dan untuk
meraih ilmu, belajarlah untuk tenang dan sabar."
(Khalifah
Umar bin Khattab R.A.)
"Kaki yang akan berjalan lebih
jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata
yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering
melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati
yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa."
(Novel
5 cm, Donny Dhirgantoro)
Aku
gadis biasa yang beruntung. Dilimpahi cinta seorang lelaki tampan nan
bertanggungjawab. Lelaki yang kukenal dari sebuah organisasi kepemudaan. Lelaki
yang berjarak 5 tahun dari usiaku. Cintanya padaku adalah nafas yang tak pernah
hilang dilekang waktu. Ridhanya adalah
peluru yang siap mengantarkanku menuju cita-citaku.
Aku
membolak balik buku 5 cm karya Donny Dhirgantoro. Ingin rasanya menangis di
dekapan suamiku. Tapi aku hanya bisa melepas rasa gelisah itu di dalam hati.
Kata-kata itu mengingatkanku kembali pada diriku sendiri. Tiga tahun yang lalu,
inilah kalimat yang sakti mandaguna bagiku. Dan sekarang, aku ingin kembali
mengobarkan spirit itu. Menjaga azzam, menguatkan hati, dan menebalkan
husnudzon kepada Allah.
Aku
masih harus bersabar menunggu izin Kakak- panggilanku untuk suamiku- untuk bisa
S2 di luar. Ingin rasanya menangis. Usiaku hampir 24 tahun, tapi belum boleh
sekolah lagi. Satu alasan yang sering Kakak kemukakan yaitu karena Rania,
puteri kecil kami masih dalam golden age. Dan Kakak memang tak bisa menjalani long
distance relationship denganku.
Suatu
hari aku mengumpulkan keberanian untuk membicarakan ini dengan Kakak. Ingin
rasanya dia tahu apa isi hatiku. Lalu berurailah alasan-alasan itu dari bibir
lelakiku. Alasan yang membuatku langsung tertunduk malu pada Allah. Alasan yang
melepuhkan seluruh sendi-sendi protesku.
"Walaupun
Asti masih kecil, tapi Kakak ketergantungan banget sama Asti. Perempuan yang
bisa mengubah Kakak hanya Asti. Kakak memang menginginkan Asti bisa kuliah
sampai S3 di luar negeri, seperti harapan ibu terhadap Asti. Tapi Kakak mohon
jangan pernah jauh-jauh dari Kakak karena Kakak gak bisa hidup berjarak dengan Asti dan Rania. Sabar ya, nunggu Kakak tugas belajar dulu, nanti Asti bisa cari
sekolah di negara yang sama.”
“Tapi,
Kak…” Belum selesai ucapannya, aku memutus kata-kata Kakak…
“Sayang,
lihatlah bagaimana pesatnya perkembangan Rania. Logika berpikirnya, daya
tangkapnya, dan kemampuan-kemampuannya yang melebihi teman-teman seusianya. Itu
juga karena Asti selalu mendampinginya, membacakan Qur'an dan buku-buku untuk
Rania setiap hari, memberinya banyak stimulus.”
Kakak
menghela nafas sejenak. Menatapku diam.
“Kakak
hanya minta Asti sabar, mendoakan dan mendukung Kakak. Percayalah, akan ada
penghargaan dari Allah karena Asti mendampingi Kakak. Masih butuh berpuluh tahun
untuk sampai pada cita-cita kita, dan Kakak mau Asti selalu di samping Kakak.",
ditariknya tanganku mendekat ke dadanya. Desir itu… Oh, Allah… Aku pilu menatap
wajahnya yang sayu. Kudekap lelakiku syahdu.
Saat
itu aku yang tengah galau menanti restunya, hanya mampu terdiam dan menangis
berderai-derai mendengar Kakak bicara begitu. Aku tahu, rancangan peta hidup yang
telah kami susun tidak lebih baik dari takdir yang telah Allah tetapkan. Tapi
aku hanya takut. Ingin rasanya aku selalu memelihara prasangka baik atas takdir
yang Allah tetapkan untukku. Tapi logika ini tergelak.
Allah,
aku hanya mampu menulis di diary ini. Diary yang mampu membuatku percaya. Kasih
kakak tulus padaku. Cintanya adalah segala. Dan ridhanya terpatri di nadiku. Aku
dan kakak adalah satu. Utuh. Kami tak bisa berjarak sekian lama, apalagi antar
benua.
Aku
mengusap air mata yang mengembun di sudut mataku. Kadang aku lupa dengan ‘sekolah’ yang Allah
berikan untukku selama ini, yakni sekolah kehidupanku sendiri. Allah seperti
menyentil diriku. Aku yang sangat memimpikan sekolah formal tapi melupakan
sekolah yang lebih luas lagi, yakni menjadi ibu teladan dan perempuan yang
berkiprah di masyarakat.
Aku masih ingin terus belajar, Kak.
Aku masih ingin mendapatkan
kesempatan itu.
Aku ingin menjadi manusia yang
terus menimba ilmu
Menimba sebanyak-banyaknya ilmu kehidupan
dan menjadi manusia yang bermanfaat sebagai khalifah fil-ardh.
Semakin
aku meronta ingin menyegerakan keinginanku, semakin lama Allah menguji, sejauh
mana cintaku pada suami berlindung di bawah ketaatan kepadanya dan kepadaNya.
Aku yang tak ingin mengecewakan Kakak,
lebih suka memendam rasa ingin ini dalam-dalam.
Sempat aku berfikir kakak sungguh egois, mengedepankan prinsipnya.
Prinsip untuk menunda keinginanku sampai puteri kecil kami benar-benar tumbuh
sempurna dalam usia emasnya.
Kakak, panggil aku…
Aku ingin segera terbang menggapai
benua lain
Agar citaku tak kandas.
Agar asaku tak tergilas waktu.
Agar sayap citaku berhimpun dengan
sayap lain di belahan bumi Allah yang lain.
Rabbana,
bila ikhlas itu belum jua hadir, ijinkan aku menemaninya mengarungi babak-babak
kami berikutnya. Di bawah naungan cintaMu, aku meminta. Lapangkan jalan kami,
ya Allah. Dan malam ini aku mengetuk langitMu lagi, menyemai doa-doa kami yang tak pernah usai. Untukmu,
lelaki pilihanku. Aku patuh dan tunduk atas nama cintaku padaMu, ya Allah.
Semarang,
151011, 18:03
~Untuk
sepasang sahabat: Asti dan Kak Didi. Semoga Allah menggenapkan doa kalian
segera. Aamiin.~
Keis Rania Tsabita Nuryazidi- Cantiknyaaaaa. Ammah pengen cium Rania deh... Hihi... :P |
NB : masih nunggu pengumuman naskah, semoga masuk 60 besar yg dibukukan dari total naskah yang masuk 300-an. Doanyaaa... >:D<