My
Sunny Girl
By
Ila Rizky Nidiana
“It’s a sunny day, I love it!”,
aku bergaya di depan kamera. Membentangkan
tanganku lebar-lebar. Lalu memamerkan
deretan gigi kelinciku. Di belakangku terbentang hamparan bunga-bunga di taman
kota.
Klik!
Biyan melingkarkan jemarinya
membentuk tanda oke.
“This is my favorite ones, Dear! Hehe... “ Lelaki itu menekan tuts di
lensa kamera. Membidikkan lensa ke sudut kota.
“Keisha, I think you should learn
about photography too, so you could share for me many stunning and beautiful
scenes!” Aku mengangguk pelan.
Kuletakkan tas ranselku di atas hamparan
rumput. Helai dedaunan maple yang ramai jatuh satu persatu di bawah kakiku membuatku
selalu rindu suasana ini. Seperti berada di negeri dongeng dengan sejuta impian
masa kecilku.
Aku suka menatap Biyan lama-lama.
Tertegun sendiri. Saat melihat Biyan melepaskan emosi lewat bidikan lensa
kamera. Dan aku bisa memotret wajahnya di mataku. Sinar lembut wajah lelaki yang
memancarkan cinta.
***
“Last day at Munchen. Where will we
go today?”
“Are you also coming to Paris?”
“I’d love to Biyan. But not
enough time. How are you?”
Biyan
memegang tanganku. Ada rasa getar halus mengalir di tubuhku. Tapi segera
kuabaikan.
“Suasana di sini cozy dan berbunga-bunga,
Dear. Aku suka banget bunga2 ituu... “ Aku meracau seperti burung yang baru
lepas dari sarangnya. Hahaa.. iya, Biyan menarik lenganku mendekat. Dia segera
melingkarkan tanganku di pinggangnya. Jemariku menunjuk toko berpagar bunga-bunga. Indah sekali
bunga-bunga itu.
Aku berlari ke depan toko. Menarik
tangan Biyan semakin kuat.
“Ayo kita foto berdua di sini, Dear.
Sebentar…”
Aku menghentikan langkah seorang
lelaki tua bertopi merah yang melintas di depan toko.
“Anggap ini hadiah dariku.
Bagaimana? “ dia mengerling manja tanda setuju. Lalu mengajakku senyum di
hadapan kamera.
“Sekalian
belajar fotografi, hehe. Nice capture, Sir..” aku membungkukkan badan tanda
hormat. Sedikit saja salah bahasa tubuh, mungkin aku akan dianggap orang asing
yang tidak tahu budaya setempat.
“Neuschwanstein castle indah banget
ya. Kita kesana yuk, Dear…” Biyan mengajakku lebih jauh lagi menjelajah kota
ini.
Perjalanan ke kastil
Neuschwanstein sempurna menambah daftar kebahagiaanku. Bentangan rumput hijau,
rumah-rumah di pedesaan, hutan pinus, es
membeku, butiran salju, hamparan pegunungan
Alpen, dan tentu saja kastil kuno, really enjoy it! Thanks my Dear Biyan. Love you!
***
Biyan antri beli Bayern-Ticket di
loket kereta. Aku yang duduk-duduk mengayunkan kaki ke udara. Lalu berdiri lagi
karena tak tahan ingin segera pergi berjalan-jalan ke Paris. Surganya para
pecinta.
Aku membeli penutup telinga yang dijual
1 Euro per pasang. Kubaca di keterangan
toko, kata pelayannya ini digunakan untuk kenyamanan atau keselamatan
telinga. Cuaca kadang tidak menentu, dan aku yang kadang mengabaikan kesehatan,
harus membeli sepasang, uhmm.. dua pasang kurasa. Dengan biyan satu pasang dan
aku sendiri satu pasang.
Tutt
tuut tuut!
Ponselnya yang disimpan di tasku
berbunyi.
Aku membaca satu panggilan tak
terjawab di ponselnya. Kubuka dan baru beberapa detik, sebuah panggilan
bordering lagi.
“Haloo…”
“Hallo, Biyan….It’s me, Dear…”
Deg! Suara itu… Suara perempuan….
Lututku lemas, aku kehilangan
keseimbangan.
***
Hauptbahnhof München. Stasiun kereta
antarnegara dan regional yang sangat ramai namun teratur. Aku menangis di
sandaran kursi. Lalu gagap, aku kalut
berlarian di depan orang-orang di stasiun.
Kusibak beberapa tangan yang
kulewati. Perih!
Lelaki itu sungguh terlalu. Dia
membawa semua cinta dan kesetiaanku
selama 1 tahun ini. Bersama sesosok
perempuan lain. Tadi aku sempat mengingat suara itu. Dan itu suara Nay.
Kulempar kamera ke tong sampah.
Biyan melihatku berlari menangis. Dia mengejarku kalut.
Tuutt tuuutt…
Kereta melaju kencang dari arah
berlawanan.
Brakk!
Suara benda terjatuh berdebam keras
sekali. Darah berceceran di lantai. Aku melihat bayangan diriku dari atas
langit.
“Slamat tinggal Biyan…”
***
NB : minta kritiknya ya, teman. hihi. Belum pernah ngrasain menjejakkan kaki di negeri 4 musim, dan kayaknya ada yang janggal xD