Empati berawal dari kesadaran bahwa saya tidak paham, dan saya ingin mendengar untuk memahami orang ini.
Kesalahpahaman berawal dari ketidaksadaran dan kita berpikir bahwa saya paham, bahkan mungkin lebih paham daripada dia memahami dirinya sendiri.
~Dr. Jiemi Ardian
❤️❤️❤️
Beberapa pekan lalu aku sering mendengar lelayu atau berita kematian dari toa menara masjid dekat rumah. Kematian orang yang bahkan tidak kusangka karena mendadak, bahkan ada juga yang sudah lama sakit parah. Sungguh sebuah berita yang membuatku terhenyak. Bahwa hidup kita seringkali diiringi dengan kelahiran maupun kematian di sekeliling kita.
Ngomongin soal berita kematian, aku pernah ada di posisi sebagai kerabat dari orang yang meninggal. Aku nggak tahu gimana perasaanku saat itu, karena air mataku hanya menetes sedikit.
Kupikir, kesedihan itu hanya datang saat berita kematian itu singgah, tapi ternyata meski sudah lama berlalu, kadang ingatan tentang orang yang sudah tiada malah bikin aku merenung dalam diam. Ya... Tiba-tiba mendadak jadi mellow, lalu menangis.
Aku pernah merasakan hal itu, waktu aku berjalan ke pasar untuk belanja.
Tiba-tiba aku ingat kisah hidup pakdhe yang sudah meninggal karena sakit menua dan sempat hilang ingatan juga.
Reaksi badanku sungguh aneh karena mendadak aku menangis. Padahal aku sedang berjalan ke arah pasar, lalu air mata itu turun begitu saja. Maskerku basah oleh air mata, tanpa bisa aku cegah.
Kisah Simbah Penjual Makanan
Tadi pagi, tiba-tiba ingatanku melayang pada sosok simbah tua yang menjual makanan di rumahnya. Beliau dulu menjual dendeng dan sambel goreng tempe kering.
Rumahnya di tepi sungai di Jalan Serayu dan dekat pula dengan rumah teman SMP ku.
Wajahnya yang menua diterpa zaman itu masih kuingat dengan jelas. Bahkan, aroma masakannya pun aku hafal karena belum ada yang bisa menyamai citarasa masakannya.
Tadi pagi, aku jadi bertanya-tanya dalam hati, "Kenapa tiba-tiba aku ingat dia?" Bahkan aroma masakan dan cita rasanya yang menggugah selera. Sungguh aneh, kan?
Aku sampai bertanya pada Mama untuk memastikan ingatanku memang benar.
Simbah tua itu memang sudah lama meninggal. Jadi, waktu dulu aku lihat warungnya terkunci, itu berarti memang sudah tidak ada yang jualan lagi di rumah itu.
Awalnya kupikir simbah itu punya generasi penerus penjual masakan dari keluarganya. Tapi mengingat cara masaknya yang unik, sepertinya sulit untuk menyamai rasa masakannya.
Mengasah Empati dalam Diri
Oiya, perihal berita kematian, aku jadi ingat tentang rasa empati .
Empati itu bisa tumbuh dari latihan dan kebiasaan dalam rumah. Tapi memang tidak mudah.
Saat kita sedih, kecewa, marah, gelisah, galau, dsb sebenarnya kita sudah memiliki berbagai rasa dan emosi yang masuk dalam jiwa. Nah, tinggal mengolah rasa ini yang agak sulit.
Validasi emosi itu nggak serta merta bisa dilakukan saat kita sedih, kecewa atau marah.
Butuh waktu untuk validasi emosi itu. Dan seringkali malah sudah terlambat banget baru sadar, "Oh ternyata aku sedih ya."
Ya, sama kayak yang aku bilang sebelumnya. Waktu pemakaman pakdhe di Slawi, aku nggak begitu sedih karena kupikir ya sudah waktunya meninggal. Sudah lama sakitnya juga.
Tapi begitu aku ingat lagi, rasanya kayak ada perasaan sesak yang tertahan. Yang selama ini tidak kuungkapkan. Dan tidak kuyakini sebagai bagian dari emosi diri.
Yang menjadikan empati mahal karena seringkali aku sendiri juga masih merasa denial saat mendengar berita sedih, bukan hanya berita kematian tapi juga kesedihan lainnya.
Empati pada orang yang menerima berita lelayu itu kadang bikin aku khawatir.
"Apa aku bisa bersikap simpati sebagaimana seharusnya mereka mendapatkan dukungan di masa-masa sulit?"
Nyatanya menyarankan perihal sabar saja tidak cukup bagi orang yang berduka.
Mereka pasti butuh dipeluk dan ditenangkan. Diberi kekuatan dan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja. Ya... Meskipun tidak sepenuhnya benar kan? Tidak ada yang baik-baik saja setelah dapat berita duka.
Jadi kadang aku bingung bagaimana harus bersikap.
Menenangkan? Memberi makan? Memberi bantuan? Atau bagaimana?
Aku jadi ingat pernah nanya ke teman, "Si A apa baik-baik aja ya? Aku mau kasih tiket blablabla."
Kupikir reaksiku saat itu malah aneh. Nggak mungkin ada orang sedang berduka, meskipun selang waktu berdukanya sudah 1 bulan lebih. Tapi malah mau diajakin menikmati hidup dengan menonton film.
Aku baru sadar kalau itu salah. Tapi juga bingung bagaimana menghadapi orang yang sedang sedih.
Perihal perasaan sedih ini bukan hanya soal kematian, tapi seperti berita lainnya juga, misal : terpaksa resign atau kena PHK karena covid, kena badai keuangan saat pandemi, ditinggal nikah, atau hal yang bikin galau dan overthinking lainnya.
Validasi Emosi itu Perlu Agar Kau Tahu Perasaan Terdalammu
Kadang bingung bagaimana harus menempatkan diri. Di satu sisi, aku tahu setiap emosi butuh validasi. Setiap emosi juga butuh untuk reda hingga waktunya tiba.
Tapi kadang, ada pikiran seperti,
"Tolong jangan lama-lama sedihnya. Aku jadi bingung gimana harus memberi saran agar bisa move on atau bangkit dari keterpurukan."
Karena aku pernah lihat teman yang kehilangan orang tuanya, bahkan sampai 10 tahun lebih masih merasa berduka yang dalam.
Bukan berarti nggak boleh sedih ya. Hanya saja... aku jadi khawatir keadaannya. Gimana kalau dia malah jadi depresi dan bersikap aneh, atau hal lainnya?
Aku paham bahwa kesedihan perlu diterima, tapi juga nggak perlu lama-lama.
Beri Waktu pada Dirimu untuk Pulih
Beri waktu untuk kesedihan itu menemukan muaranya.
Beri waktu untuk duduk dan diam. Lalu pelan-pelan mulai memetakan perasaan apa yang sedang dirasakan. Jadi benar-benar bisa merasakan emosi yang dialami jiwa kita.
Bukannya denial dan malah menyangkalnya terus. Karena kadang ada masanya kita justru harus menjalani hidup. Bagaimana pun perasaan kita saat itu.
Ya, semangatlah wahai jiwa. Kamu sungguh berhak bahagia. ❤️