Quote of The Day

Selepas musim yang berganti, cara terbaik untuk memudahkan syukurmu terlantun adalah dengan menyederhanakan harapanmu hari ini.

Jumat, 30 September 2011

Menakar Kadar Nasionalisme Kita

Menakar Kadar Nasionalisme Kita

Di sebuah film
Seorang anak laki-laki berjalan menuju podium, berkumpul bersama anak-anak lain, dan sesaat kemudian, dipejamkannya mata sejenak, bersiap menyanyikan sebuah lagu. Di ujung meja hadirin sana, sang ibu duduk bersama hadirin lain, melambaikan tangan di udara, memberi sang anak semangat. 

Saat yang dinanti pun tiba. Anak laki-laki tsb, memimpin paduan suara menyanyikan sebuah lagu. Sebuah lagu yang membuat sang ibu, ayah, dan keluarga besarnya tersentak sekaligus haru. Bukan hanya mereka, namun juga seorang tetangga mereka di kompleks perumahan, seorang perempuan paruh baya berkebangsaan Inggris yang juga hadir. 

Ia segera memberi aplaus keras saat lagu itu baru beberapa bait dinyanyikan, sehingga seluruh hadirin pun ikut bertepuk tangan dan memberi tanda kehormatan dengan meletakkan telapak tangan kanan di dada kiri masing-masing sampai lagu itu selesai dinyanyikan. Ya, lagu itu adalah lagu kebangsaan India. 

Dan sang ibu adalah seorang kebangsaan India, yang sangat kental dengan tradisi kebudayaan India sejak kecil. Ia tak pernah melupakan bahwa ia berasal dari India, sebuah negara yang jauh berpuluh kilo meter dari tempatnya kini tinggal, Inggris. Karena itu setiap pagi, tak henti-hentinya ia mengajari putranya menyanyi lagu kebangsaan India. 

Saat ditanya sampai kapan ia akan terus menerus menjejali dengan lagu-lagu itu? Ia menjawab dengan pasti. Agar sang anak tak lupa, bahwa ia berasal dari India, ia takkan berhenti untuk menyanyikannya. “India yang terbaik!”, ucapnya sambil tersenyum lebar.

***

Itu hanya sekedar ilustasi dari cuplikan film India, Khabie Khusie Khabie Gham, yang saya tonton dulu saat SMP. Lalu, apa hubungannya dengan judul tulisan ini? Yap, Menakar kadar nasionalisme kita. Seberapa besarkah kadar nasionalisme kita terhadap negara ini?

Saya tergelitik dengan bahasan ini, saat teringat adegan di film tadi. Ya, sejauh mana kadar nasionalisme kita? 

Apakah seorang hanya dikatakan berjiwa nasionalis jika ia berkoar-koar di atas podium dan mendendangkan lagu demokrasi, dan bumbu politik tetek bengek lainnya? 

Ataukah kita hanya merasakan nasionalisme saat di masa sekolah dulu? Saat upacara bendera, saat Sang Saka Merah Putih berkibar gagah diliuk-liukkan oleh sang angin, saat paduan suara sekolah membawakan lagu kebangsaan negeri ini “Indonesia Raya” yang menggema di seluruh penjuru kota? 

Ataukah hanya saat menonton tim Indonesia berlaga memperebutkan Piala Thomas-Uber Cup, kita mati-matian berteriak-teriak sepanjang pertandingan sambil menyenandungkan kata “IN-DO-NE-SIA!“

Laskar Merah Putih beraksi

Atau saat membela tim yang kita banggakan di pertandingan Sepak Bola, yang kadang malah berbuah kericuhan. Ah, segitukah saja nasionalisme yang didengung-dengungkan itu?

Apakah semangat nasionalisme akan tetap ada dalam diri, atau ia pun hilang bersamaan usainya lagu itu dinyanyikan? Saya jadi miris jika demikian adanya, jika semangat lagu itu tak lagi menggema di dada kita masing-masing.

Ah, jika saya bandingkan dengan adegan di film tadi, saya mengamati hal lain. 

Seorang politikus yang berkoar-koar di atas podium untuk menarik minat massa saat masa kampanye, dan kemudian terpilih menjadi wakil rakyat, kini, engkau melihat dia digerebek polisi di sebuah hotel karena kasus korupsi bermilyar-milyar, ya… dia tertangkap memakan harta rakyat negeri ini.
Astaga! Lalu kemana gaung nasionalisme itu??  

Bila politisi itu memang punya jiwa nasionalis, sama seperti yang ia dengung-dengungkan di saat kampanye, seharusnya ia tak membuat malu negeri ini di mata negara lain dengan kasus korupsinya yang menyedihkan!
Taukah engkau apa yang dilihat Negara lain dari Negeri ini? Indonesia terkenal dengan kasus korupsinya! Yang lebih menyedihkan lagi, hukum bisa dibeli, sesuai dengan pesanan. Ah ya! Benar-benar menggelikan.
Seperti jika kita mengamati syair “Indonesia Pusaka” maka kita akan bisa meresapi makna Indonesia sebagai sebuah negeri  yang digdaya- pada jaman dahulu. 

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Slalu di puja-puja bangsa

Jika saya boleh menuliskan, Nasionalime bagi saya adalah, harga diri bagi seorang warga negara, maka, saat itulah pula, ia mempunyai kewajiban untuk membuat negara ini bangga -minimal tidak membuat malu- menjadi sebuah negara yang layak untuk dikenal karena keagungan budi pekertinya yang luhur… tak membuat malu dengan kasus korupsi yang memakan harta rakyat.

Seharusnya, seorang warga negara bisa membuat bangsa ini mempunyai martabat yang luhur, seluhur sejarah masa lalunya di jaman kerajaan-kerajaan yang indah dengan prestasinya yang gilang gemilang. Sebagaimana saat Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, dan Kerajaan Samudra Pasai tumbuh menjadi Kerajaan Maritim yang besar di masanya, dengan kekuatan armada laut yang kuat. Atau dengan pertumbuhan yang pesat, Jayakarta menjadi kota pesisir yang dikunjungi banyak armada negara lain, atau jalur sutra yang  mengagumkan kita, perekonomian yang tangguh, dimana seluruh denyut nadi kehidupan bisa dirasakan.
Contoh tadi memang hanya sekedar nostalgia bagi saya, dimana saya mengagumi kekuatan dan kejayaan kerajaan-kerajaan tadi. Tetapi, peristiwa masa lalu, adalah refleksi diri, sejauhmana kita bisa mengambil pelajaran yang pantas. Maka, mari berkaca pada kualitas kerajaan yang pernah menjadi legenda negeri ini di masa lalu, agar Negara kita menjadi jaya kembali. Saat itulah kita akan berteriak lantang ke penjuru dunia, “Indonesia yang terbaik!”
*** 
Daerah terpencil bernama Seko, di Sulawesi selatan

Nasionalisme menurut saya identik pula dengan ketahanan bangsa. Sejauh yang saya tahu, selama masa pembangunan  daerah di era  orde baru maupun lama hingga masa sekarang, banyak sekali daerah baik di luar jawa maupun di jawa yang belum terjangkau akses pembangunan. Semisal saja , jalan raya, sekolah, jembatan penghubung antar pulau satu dengan lainnya. Saya ambil contoh di sebuah daerah di Sulawesi  bernama Seko. Seko adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan dengan jumlah penduduk 12.000-16000 jiwa. Seko adalah salah satu kecamatan yang sangat tertinggal di sulawesi selatan dikarenakan akses menuju ke sana sangat sulit. Seko dapat di jangkau dengan menggunakan pasawat dengan biaya Rp.200 .000 tapi saat ini pesawat tidak ada lagi yang beroperasi. Seko juga dapat di jangkau dengan menggunakan ojek dengan biaya Rp 1.200.000 pulang pergi. Cukup mahal kan untuk biaya sarana transportasi? 

Seko berjarak 97 km dari Masamba ibu kota kabupaten Luwu Utara, tapi aneh jarak yang tidak terlalu panjang ini sampai sekarang belum tersentuh infrastruktur pembangunana jalan. ruas jalan saat ini adalah peninggalan belanda, tapi pada saat pemberontakan Kahar Muzakar jalan ini di hancurkan agar penduduk Seko tidak dapat kemana-mana. Kini, setengah abad berlalu, jalan menuju Seko masih seperti dulu. Jalan yang tadinya masih mudah di tempuh oleh pengendara roda 2 ternyata amat sulit untuk di lewati. Para pengendara motor tersebut harus menghabiskan waktu selama 4 hari 3 malam untuk menempuh jarak yang hanya 45 km dari Kecamatan Rongkong/Limbong pada saat musim hujan, jarak tersebut hanya menghabiskan waktu 1 hari sebelum pengerjaan.

Dari kisah tentang Seko tadi, saya ingin menarik kesimpulan bahwa  pembangunan di daerah terpencil masih sangat dibutuhkan oleh warga sekitar. Sayangnya ini belum terjangkau luas.  Padahal sebagai salah satu ciri ketahanan bangsa adalah kondisi terpenuhinya segala aspek pembangunan bagi setiap warga negara yang tercermin dari tersedianya sarana pembangunan yang cukup  baik jumlah, maupun mutunya, terjangkau, dan merata di seluruh penjuru negeri. Ketahanan bangsa adalah cermin keutuhan negeri. Jika kita tidak mengupayakan ketahanan bangsa, lalu siapa lagi yang akan mengupayakannya? 

Sejarah membuktikan bahwa  negara yang sukses melakukan  kemandirian pembangunannya sedikit banyak ditentukan oleh keberhasilan dalam bidang ketahanan bangsa baik dalam proses akses  demokratisasi  baik sosial ekonomi maupun politik, pembangunan serta pengentasan kemiskinan. 

Kemandirian pembangunan sebagai bagian dari ketahanan bangsa hanya dapat terwujud bila kondisi saling ketergantungan tersebut dibangun atas modal sosial yang tinggi. Kemandirian ketahanan bangsa akan terwujud apabila paradigma pembangunan dikembangkan baik di pusat maupun daerah mampu memadukan antara tuntutan global dengan pemberdayaan masyarakat. 

Tidak ada kemandirian tanpa proses pemberdayaan. Pemberdayaan berarti memampukan masyarakat dan pemerintah daerah dalam aspek material, intelektual, moral, dan manajerial. Dan bagaimana membangun transformasi sosial yang mandiri untuk mewujudkan system ketahanan bangsa di era global dan otonomi daerah inilah yang perlu menjadi pekerjaan rumah kita bersama dalam membangun karakter nasionalisme agar bisa menyejawantah dalam diri setiap wajah anak negeri.

***
Laboratorium Peradaban, 16 September 2011, 21: 20
~Sejarah adalah catatan statistik tentang denyut hati, gerak tangan, langkah kaki, dan ketajaman akal.~

Sumber tentang Seko ada di :

Selasa, 27 September 2011

Story Pudding : Cinta Takkan Kemana-mana



Story Pudding : Cinta Takkan Kemana-mana

‘Jika memang kita ditakdirkan tuk bersama slamanya, cinta takkan kemana-mana.’
(Petra Sihombing)

‘Jika takdir cinta pasti kan bertemu , meski kau dan aku ada di ujung dunia.’
(Film Ketika Cinta Bertasbih)

Dua kalimat pembuka itu cukup untuk menggambarkan betapa dahsyatnya takdir yang Allah rangkai. Bahkan jika takdir itu belum bermuara kini, suatu saat jawaban itu pasti akan ada, akan indah pada waktunya.

Sebuah pernikahan seorang sahabat mengingatkanku pada hal ini, bahwa cinta bukan hanya tentang kenyamanan, mantapnya komunikasi, kecocokan jiwa, dsb.. tapi lebih kepada. Apakah memang dia adalah takdir kita. Seseorang yang telah Allah tulis namanya menjadi penyejuk jiwa dan pelengkap rindu.  Kalo di bahasa jawa istilahnya “Sigaraning nyowo” atau separuh jiwa kita…

Ini kisah tentang sahabatku, pernikahannya yang terbilang cepat, dan  sempat membuatku terkejut.  Satu waktu dia mengajakku bertemu di libur lebaran tahun 2008, karena meski kita sudah lama berinteraksi di dunia maya sejak tahun 2006, tapi baru kali itu aku bisa bertemu. Rumahnya di daerah mejasem, sekitar 15 menit dari rumahku jika menggunakan motor. Hanya saja, dia sibuuukkk sekali, hihii.. maklum, agenda silaturahimnya seabrek. Sampai ditetapkanlah hari itu. Aku ingetnya hari jumat aja. :D

Janjian ketemu jam 1 siang, aq nyampe rumah dia tepat waktu, ngobrol-ngobrol lama, sampai jam 2-an. Dan tiba-tiba hp dia berdering, sebuah telepon masuk ke hp nya. “bentar ya, ila, aq angkat dulu teleponnya. Nanti  ada  tamu, ila temenin aku mau ga?”

Aku jujur saja waktu itu kaget. Mengiyakan sih, tapi dalam hati kagetku belum juga ilang …“Tamu? Tamu siapa? Apa ga ngganggu nanti… pastinya si tamu juga nanti kan punya alasan sendiri kenapa sampai menyempatkan diri untuk ketemu di rumah ini.. pastinya pengen ketemu sama temenku itu…bukannya ngobrol sama aku.. heuheuu… ”

Lalu telepon dia tutup, dan mulailah dia membahas siapa tamu itu. “Dia kakak kelasku, ila…Kita kenal di organisasi  kepemudaan. Kebetulan aku di bem. Selisihnya sih 5 tahunan. Katanya mau ngajak taaruf. Hm, aku bingung mau cerita gimana. Yang jelas dia mau serius, udah nanya ke aku juga kapan bisa silaturahim untuk nanya ke ayahku…”

Tuing tuiingg… aku yang diceritain gitu jadi bengong sendiri. Aduhh, jadi aku mau nemenin temenku ini kenalan sama (bakal) calonnya gitu yah?? Woow… mantappp… kopdar pertama sekaligus menjadi saksi hidup perkenalan mereka. Hehe.. ;p

Selang brapa menit, hp temenku bunyi lagi. Katanya si mas itu, yang dia panggil ‘kakak’ itu sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Dan temenku pamit untuk membukakan pintu, karena kebetulan orang rumah lagi sepi. Cuma temenku aja sama adeknya, makanya dia minta temenin aku buat ketemuan. :))

Dan dimulailah babak baru itu, hahahaaa… rasanya jadi  saksi hidup itu uniikk.. ;p

Jadi ikut deg-degan pas mereka ketemu pertama kali, wkwkwk… pas itu si kakak bawa temen juga,  rumah dia di daerah brebes. Jadi sekitar 1,5 jam dari rumah dia yang konon katanya jauh dari kota brebes.  Haha… saluutt sama dia, niat bener ke rumah temenku, padahal jauuhnya masyaAllah, ampe katanya tuh nyasar2 gitu nyari alamat rumahnya. Maklum, meski si kakak itu orang brebes, tapi  sejak sma disekolahin di pondok di jawa timur, jadi ga kenal daerah sekitar brebes apalagi sampe  main ke tegal... Yah, apa sih yang ga dilakuin demi si bidadarii.. haahaaa. Nyasar juga dijabanin. Jatuh cinta emang ajaiib yaahh… sesuatu banget gituu… wekekee…. ;D

Dari obrolan-obrolan itu aku tau si kakak itu yang naksir temenku, kerja di sebuah bank di luar jawa. Dia libur lebaran jadi sempet-sempetin silaturahim gitu. Trus, obrolan ngarah-ngarah ke hal hobi, kesibukan, kerja, dsb.. pertanyaan umum sebenernya, Cuma karena aq udah tau  tujuan kenalan buat apa, jadi pengen ketawa, tp kutahan. Wekekee… lucu gitu liat ekspresi si kakak maupun temenku. Shy-shy cat, malu2 meoongg… ;))

Ngobrol sampe jam 4, trus aq minta ijin mau pulang, tp kata temenku, ‘duh, ila.. jangan pulang dulu.. gimana kalo sholatnya di sini aja.’ Yaudah deh, aq yang udah kebelet sholat ashar akhirnya bikin si kakak minta ijin pulang lebih cepet. Haha.. maapp yaahh, tp sholat emang lebih urgent dibanding ngobrol sama bidadari. Hihii… akhirnya, aq pulang sekitaran jam setengah 5 lebih soalnya masih diajakin ngobrol sama temenku.

Sampe disitu aq masih anggap ah, itu kan cuma kenalan aja. Belum tentu juga jadi. Nah, suatu waktu(bulan maret kayaknya, sekitar 6 bulan sejak ketemu itu) aq nanyain progress hubungan mereka, apa si kakak itu udah ke rumah lagi buat ketemu ortu temenku atau belum. “Iya, ila.. udah. Dan ayah ga suka.”

Deg, dari situ temenku mulai curhat. Dia bimbang, dsb… di satu sisi dia pengen banget nikah cepet, di sisi lain ortu belum sreg sama yang maju ke hadapan ayahnya. Katanya ada dua orang yang udah nanya dan jawabannya sama. Ga diterima. -.-‘

Woow, tau ga? Selang brapa bulan kemudian, si temenku itu ngabarin. ‘Ila, aq jadi nikah, tapi tanggalnya nanti aq kabarin lagi ya.’ Aq bingung, ehhh, ehh… jadinya sama siapa yah? Yang orang mana?   Jawab temenku, “Ila tau orangnya kok…”

Tuiing, aq tambah bingung, yang mana yaa?? Masa sama si kakak itu?? Bukannya udah ditolak yahh?? Hahaa… :p

Ternyata berkat doanya si kakak yang terus menerus dan ga kenal kata nyerah , buktinya brani maju ke ortunya lagi, akhirnya jawaban  doa dia dikabulkan. Si bidadari jadi dilamar, dan maret 2009 mereka nikah. Huwaaa… denger itu rasanya nyesss, ademm banget. Gimana ya? Liat proses temen nikah itu emang bikin kita jadi ikutan deg-degan. Hehe…sekarang temenku itu udah punya anak 1 dan unyu bangeett.. imyuut gitu . namanya Rania.  Dan pasangan yang aq certain itu Asti dan Kak Didi.  ;D

Jadi bener ya, bahwa doa itu bisa mengubah takdir. Bahkan soal jodoh sekalipun. Hehe.. Yukk, marii yang belum punya jodoh, yang masih galau menggalau. Kencengin lagi doanya, kuatin lagi ikhtiarnya, dan pantaskan diri di hadapan camer maupun calon. Who know yaa… kali aja si dia yang kita incer itulah jodoh kita. Seperti sepenggal kisah dalam film Di bawah Lindungan Ka'bah ini. ;D

Zaenab : "Sampai kapanpun, aku akan memegang teguh do'aku, Menikah dengan orang yang dicintai dan mencintaiku."
Hamid : "Bukan kita yang menentukan keberhasilan do'a"
Zaenab : " Allah yang akan menjawabnya"

Tugas kita hanya berusaha dan اَللّÙ‡ swt Maha Tahu apa yg kita butuhkan, bukan apa yg kita inginkan. Jika kita percaya jodoh takkan kemana-mana, yakinlah bahwa suatu saat do'a²  kita semua akan di-ijabah-Nya dengan cara-Nya yang indah & penuh hikmah... :)


Semarang, 27 September 2011,  22:07 

Kisah ini diikutsertakan pada "A Story Pudding For Wedding" yang diselenggarakan oleh Puteri Amirillis dan Nia Angga

NB : mba putri, aq bingung cara masang link dibanner itu gimana? Hikkks...  >,<   

A Story Pudding For Wedding



Bagiku, itu berarti: Segalanya!

Bagiku, itu berarti: Segalanya!

(copas dari blog ku dulu yang udah dihapus, :D  http://nazhara.multiply.com/) 

Di sebuah film kartun jepang, Eyeshield 21.

Seorang manager tim American Football sebuah sekolah SMU, menghadap kapten tim di sebuah ruangan sore itu, lalu percakapan pun terjadi.

Manager tim itu bertanya, “Apakah ada yang lebih penting dari sebuah kemenangan?”.

Manager tim itu merasa pesimis dengan kemenangan tim, mengingat betapa beratnya  pertandingan kali ini harus dijalani,sedangkan  tim inti masih mengalami kurang strategi di sana-sini.

Sang kapten dengan tenang dan tegas  menjawab dengan lantang. “Mengapa harus menang, katamu? Karena, jika kita kalah, permainan akan berakhir, begitu juga bagi pemain  itu sendiri.”

Dan sang manager pun langsung tertegun mendengar kalimat yang singkat  namun mengena itu.

Eyeshield 21

###

Di sebuah film Hollywood, Kingdom Of Heaven.

Peperangan besar usai berkecamuk antara kamu Salibis  dengan pasukan  muslim, di sebuah peperangan menaklukkan kembali kota yerussalem. Perang yang dalam sejarah disebut perang Salib, merupakan perang yang besar, telah usai dengan kekalahan di pihak kaum Salibis.

Saat itulah, perundingan damai harus dilakukan. Sebuah konsekuensi atas sebuah penaklukan, maka sang pemimpin kaum salibis harus menyerahkan kota  Yerussalem kepada yang berhak, yaitu pasukan Muslim yang saat itu dipimpin oleh Salahuddin Al Ayyubi.

Sang pemimpin  kaum salibis, seorang panglima perang menghadap Salahuddin Al Ayyubi, dan menyerahkan  Yerussalem yang mereka sebut sebagai kerajaan Surga kepada kaum muslim. Mereka  benar-benar  merasa kalah, dan mengakui bahwa kaum muslim lebih besar jumlahnya dan kuat daripada  yang mereka duga.

Lalu, sebuah  percakapan lain terjadi, saat sang panglima tadi bertanya, “Apa manfaat Yerussalem bagimu?”

Dengan tenang, Salahuddin berkata, “Tak ada.”

Lalu, ia membalikkan tubuhnya, meninggalkan sang panglima yang masih tertegun memandangi Salahuddin  dengan tak percaya.

Salahuddin yang sudah berjalan dua langkah, segera berbalik dan mengucapkan  sebuah kalimat pamungkas.

“Tapi, segalanya.”, sambil tersenyum.

### 

Jleb! Bagai disengat beribu-ribu  decak kagum, itulah yang saya rasakan. Duduk di depan televisi sambil mengulang kata-kata yang kudengar di dua film tadi.

Mungkin, bagi kita. Yang sering tanpa sadar sering melupakan arti sebuah pemaknaan. Ya, budaya  yang tanpa kita sadari sering kita abaikan.

Kata-kata muncul dari pikiran
Pikiran muncul dari realita, dan
Realita menjadi kehidupan

Perbedaan utama antara 
orang kaya dan orang miskin
Ada  pada kata-kata yang mereka gunakan
Jika kamu ingin mengubah
realita  eksternal seseorang,
Kamu perlu terlebih dulu mengubah
realitas internal orang itu.

Itu dilakukan pertama-tama melalui
usaha mengubah,
Memperbaiki
atau memperbaharui
Kata-kata yang ia gunakan.

Jika kamu ingin mengubah hidup orang,
pertama-tama ubahlah kata-kata mereka.
Dan untungnya, kata-kata itu gratis.

RichDad-Robert T Kiyosaki

Lihat, hayati, dan maknai kalimat di penggalan adegan film tsb, lalu rasakan energy dari kalimat itu. Maknai! Ya, maknai kalimat tsb, lalu jadikan itu sebagai energy  baru yang menyelusup ke dalam jiwa. Smangat!

Kamar  Cahaya, 23 Februari 2009
~be Survivor, be Winner!~