Menakar Kadar Nasionalisme Kita
Di sebuah film
Seorang anak laki-laki berjalan menuju podium,
berkumpul bersama anak-anak lain, dan sesaat kemudian, dipejamkannya mata
sejenak, bersiap menyanyikan sebuah lagu. Di ujung meja hadirin sana, sang ibu
duduk bersama hadirin lain, melambaikan tangan di udara, memberi sang anak
semangat.
Saat yang dinanti pun tiba. Anak laki-laki tsb,
memimpin paduan suara menyanyikan sebuah lagu. Sebuah lagu yang membuat sang
ibu, ayah, dan keluarga besarnya tersentak sekaligus haru. Bukan hanya mereka,
namun juga seorang tetangga mereka di kompleks perumahan, seorang perempuan
paruh baya berkebangsaan Inggris yang juga hadir.
Ia segera memberi aplaus keras saat lagu itu baru
beberapa bait dinyanyikan, sehingga seluruh hadirin pun ikut bertepuk tangan
dan memberi tanda kehormatan dengan meletakkan telapak tangan kanan di dada
kiri masing-masing sampai lagu itu selesai dinyanyikan. Ya, lagu itu adalah
lagu kebangsaan India.
Dan sang ibu adalah seorang kebangsaan India, yang
sangat kental dengan tradisi kebudayaan India sejak kecil. Ia tak pernah
melupakan bahwa ia berasal dari India, sebuah negara yang jauh berpuluh kilo
meter dari tempatnya kini tinggal, Inggris. Karena itu setiap pagi, tak
henti-hentinya ia mengajari putranya menyanyi lagu kebangsaan India.
Saat ditanya sampai kapan ia akan terus menerus
menjejali dengan lagu-lagu itu? Ia menjawab dengan pasti. Agar sang anak tak
lupa, bahwa ia berasal dari India, ia takkan berhenti untuk menyanyikannya.
“India yang terbaik!”, ucapnya sambil tersenyum lebar.
***
Itu hanya sekedar ilustasi dari cuplikan film India,
Khabie Khusie Khabie Gham, yang saya tonton dulu saat SMP. Lalu, apa
hubungannya dengan judul tulisan ini? Yap, Menakar kadar nasionalisme kita.
Seberapa besarkah kadar nasionalisme kita terhadap negara ini?
Saya tergelitik dengan bahasan ini, saat teringat
adegan di film tadi. Ya, sejauh mana kadar nasionalisme kita?
Apakah seorang hanya dikatakan berjiwa nasionalis
jika ia berkoar-koar di atas podium dan mendendangkan lagu demokrasi, dan bumbu
politik tetek bengek lainnya?
Ataukah kita hanya merasakan nasionalisme saat di
masa sekolah dulu? Saat upacara bendera, saat Sang Saka Merah Putih berkibar
gagah diliuk-liukkan oleh sang angin, saat paduan suara sekolah membawakan lagu
kebangsaan negeri ini “Indonesia Raya” yang menggema di seluruh penjuru kota?
Ataukah hanya saat menonton tim Indonesia berlaga
memperebutkan Piala Thomas-Uber Cup, kita mati-matian berteriak-teriak
sepanjang pertandingan sambil menyenandungkan kata “IN-DO-NE-SIA!“
Laskar
Merah Putih beraksi
Atau saat membela tim yang kita banggakan di
pertandingan Sepak Bola, yang kadang malah berbuah kericuhan. Ah, segitukah
saja nasionalisme yang didengung-dengungkan itu?
Apakah semangat nasionalisme akan tetap ada dalam
diri, atau ia pun hilang bersamaan usainya lagu itu dinyanyikan? Saya jadi
miris jika demikian adanya, jika semangat lagu itu tak lagi menggema di dada
kita masing-masing.
Ah, jika saya bandingkan dengan adegan di film tadi,
saya mengamati hal lain.
Seorang politikus yang berkoar-koar di atas podium
untuk menarik minat massa saat masa kampanye, dan kemudian terpilih menjadi
wakil rakyat, kini, engkau melihat dia digerebek polisi di sebuah hotel karena
kasus korupsi bermilyar-milyar, ya… dia tertangkap memakan harta rakyat negeri
ini.
Astaga! Lalu kemana gaung nasionalisme itu??
Bila politisi itu memang punya jiwa nasionalis, sama
seperti yang ia dengung-dengungkan di saat kampanye, seharusnya ia tak membuat
malu negeri ini di mata negara lain dengan kasus korupsinya yang menyedihkan!
Taukah engkau apa yang dilihat Negara lain dari
Negeri ini? Indonesia terkenal dengan kasus korupsinya! Yang lebih menyedihkan
lagi, hukum bisa dibeli, sesuai dengan pesanan. Ah ya! Benar-benar menggelikan.
Seperti jika kita
mengamati syair “Indonesia Pusaka” maka kita akan bisa meresapi makna Indonesia
sebagai sebuah negeri yang digdaya- pada
jaman dahulu.
Indonesia tanah
air beta
Pusaka abadi nan
jaya
Indonesia sejak
dulu kala
Slalu di
puja-puja bangsa
Jika saya boleh menuliskan, Nasionalime bagi saya
adalah, harga diri bagi seorang warga negara, maka, saat itulah pula, ia mempunyai kewajiban untuk membuat
negara ini bangga -minimal tidak membuat malu- menjadi sebuah negara yang layak
untuk dikenal karena keagungan budi pekertinya yang luhur… tak membuat malu
dengan kasus korupsi yang memakan harta rakyat.
Seharusnya, seorang warga negara bisa membuat bangsa
ini mempunyai martabat yang luhur, seluhur sejarah masa lalunya di jaman
kerajaan-kerajaan yang indah dengan prestasinya yang gilang gemilang.
Sebagaimana saat Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, dan Kerajaan Samudra
Pasai tumbuh menjadi Kerajaan Maritim yang besar di masanya, dengan kekuatan
armada laut yang kuat. Atau dengan pertumbuhan yang pesat, Jayakarta menjadi
kota pesisir yang dikunjungi banyak armada negara lain, atau jalur sutra
yang mengagumkan kita, perekonomian yang
tangguh, dimana seluruh denyut nadi kehidupan bisa dirasakan.
Contoh tadi memang hanya sekedar nostalgia bagi
saya, dimana saya mengagumi kekuatan dan kejayaan kerajaan-kerajaan tadi.
Tetapi, peristiwa masa lalu, adalah refleksi diri, sejauhmana kita bisa
mengambil pelajaran yang pantas. Maka, mari berkaca pada kualitas kerajaan yang
pernah menjadi legenda negeri ini di masa lalu, agar Negara kita menjadi jaya
kembali. Saat itulah kita akan berteriak lantang ke penjuru dunia, “Indonesia yang terbaik!”
Daerah terpencil bernama Seko, di Sulawesi selatan
Nasionalisme menurut saya
identik pula dengan ketahanan bangsa. Sejauh yang saya tahu, selama masa
pembangunan daerah di era orde baru maupun lama hingga masa sekarang,
banyak sekali daerah baik di luar jawa maupun di jawa yang belum terjangkau
akses pembangunan. Semisal saja , jalan raya, sekolah, jembatan penghubung
antar pulau satu dengan lainnya. Saya ambil contoh di sebuah daerah di Sulawesi
bernama Seko. Seko adalah salah satu kecamatan
di Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan dengan
jumlah penduduk 12.000-16000
jiwa. Seko adalah salah satu kecamatan
yang sangat tertinggal di sulawesi selatan dikarenakan akses menuju ke sana
sangat sulit. Seko
dapat di jangkau dengan menggunakan
pasawat dengan biaya Rp.200 .000 tapi saat ini pesawat tidak ada lagi yang
beroperasi. Seko
juga dapat di jangkau dengan menggunakan ojek dengan biaya Rp 1.200.000 pulang
pergi. Cukup mahal kan untuk biaya sarana transportasi?
Seko berjarak 97 km dari Masamba ibu kota kabupaten Luwu Utara, tapi aneh
jarak yang tidak terlalu panjang ini sampai sekarang belum tersentuh infrastruktur
pembangunana jalan. ruas jalan saat ini adalah peninggalan belanda, tapi pada
saat pemberontakan Kahar Muzakar jalan ini di hancurkan agar penduduk Seko tidak dapat
kemana-mana. Kini, setengah abad berlalu, jalan menuju Seko masih
seperti dulu. Jalan yang tadinya masih mudah di tempuh oleh pengendara roda 2
ternyata amat sulit untuk di lewati. Para pengendara motor tersebut harus
menghabiskan waktu selama 4 hari 3 malam untuk menempuh jarak yang hanya 45 km dari
Kecamatan Rongkong/Limbong pada saat musim hujan, jarak tersebut hanya
menghabiskan waktu 1 hari sebelum pengerjaan.
Dari kisah tentang Seko tadi, saya ingin menarik kesimpulan bahwa pembangunan di daerah terpencil masih sangat
dibutuhkan oleh warga sekitar. Sayangnya ini belum terjangkau luas. Padahal sebagai salah satu ciri ketahanan
bangsa adalah kondisi terpenuhinya segala aspek pembangunan bagi setiap warga
negara yang tercermin dari tersedianya sarana pembangunan yang cukup baik jumlah, maupun mutunya, terjangkau, dan
merata di seluruh penjuru negeri. Ketahanan bangsa adalah cermin keutuhan negeri. Jika kita tidak
mengupayakan ketahanan bangsa, lalu siapa lagi yang akan mengupayakannya?
Sejarah membuktikan
bahwa negara yang sukses melakukan kemandirian pembangunannya sedikit banyak ditentukan
oleh keberhasilan dalam bidang ketahanan bangsa baik dalam proses akses demokratisasi
baik sosial ekonomi maupun politik, pembangunan serta pengentasan
kemiskinan.
Kemandirian pembangunan
sebagai bagian dari ketahanan bangsa hanya dapat terwujud bila kondisi saling
ketergantungan tersebut dibangun atas modal sosial yang tinggi. Kemandirian
ketahanan bangsa akan terwujud apabila paradigma pembangunan dikembangkan baik
di pusat maupun daerah mampu memadukan antara tuntutan global dengan
pemberdayaan masyarakat.
Tidak ada kemandirian
tanpa proses pemberdayaan. Pemberdayaan berarti memampukan masyarakat dan
pemerintah daerah dalam aspek material, intelektual, moral, dan manajerial. Dan
bagaimana membangun transformasi sosial yang mandiri untuk mewujudkan system
ketahanan bangsa di era global dan otonomi daerah inilah yang perlu menjadi
pekerjaan rumah kita bersama dalam membangun karakter nasionalisme agar bisa menyejawantah
dalam diri setiap wajah anak negeri.
***
Laboratorium Peradaban, 16 September 2011, 21: 20
~Sejarah adalah catatan statistik tentang denyut
hati, gerak tangan, langkah kaki, dan ketajaman akal.~
Sumber tentang Seko ada
di :