Quote of The Day

Selepas musim yang berganti, cara terbaik untuk memudahkan syukurmu terlantun adalah dengan menyederhanakan harapanmu hari ini.

Kamis, 15 November 2012

Writing Award WR-Memaknai Kepopuleran


Writing Award WR-Memaknai Kepopuleran

Tegal, 121012, 02:06

Dear diary,

Malam ini, sedini hari ini. Mendadak ingatanku kembali pada percakapan dengan Una tempo hari di gtalk. Aku iseng bilang ke dia, “Enak kali ya, jadi Oki Setiana Dewi… dikenal banyak orang gitu. Lihat deh akunnya sampai penuh follower sekian.” 

Aku memberi link twitter Oki pada percakapan kami dan dia pun mengomentari balik. “Kamu siap-siap mau jadi terkenal ya, mba?” Mungkin karena dia kaget aku bilang gitu kali ya. Aku lebih kaget lagi mendengar pertanyaannya. Siap-siap? Iya, siap-siap, maksudnya apa? Apa benar aku siap kalau ada di posisi oki? Setiap perilaku dirinya apapun itu pasti akan diamati oleh semua orang. Coba bayangin aja, jalan kemana, orang pasti tahu dia itu ya si oki. Mau makan di mana aja, orang pasti kenal wajah dia, dan langsung nyapa. “Mbak Oki ya?”

Aku membayangkan apa jadinya jika aku jadi dia, dengan kondisi pribadi yang sedang tidak sebaik Oki. Belum sesalihah dia. Mungkin, yang ada justru ketidaksiapan dengan keterkenalan itu. Pantas saja kalau aku pernah membaca di buku oki yang pertama, bahwa yang pertama kali dikatakan juri pada oki saat lolos audisi KCB adalah nasihat untuk selalu menyertakan Allah dalam setiap langkah. Karena, bisa jadi, justru keterkenalan itu adalah ujian yang tidak dia sadari.

Hmm, dari percakapan dengan Una ini, aku jadi mawas diri. Semoga di mana pun aku berada, Dia selalu menjadi yang pertama yang mengingatkan kesalahanku sebelum orang lain yang mengingatkan. Semoga selalu ada ruang untuk mengurai hikmah di saat apapun. Bahkan ketika sedang dilimpahi rasa syukur sekalipun. Semoga. :)

Senin, 15 Oktober 2012

Cara Mencegah dan Menanggulangi Tawuran


Anak laki-laki itu harus sering diajak ngobrol supaya terbiasa mengemukakan pendapat. Kalau tidak, mereka akan terbiasa menggunakan tangan untuk menyampaikan keinginan. (Anak Sejuta Bintang)

Pertama kali membaca statement itu di status fb mba Dey, di bulan april lalu, aku awalnya cuma tertegun. Lalu kemudian mengamini. Banyak hal yang sulit untuk diuraikan tentang betapa sulitnya mengontrol anak lelaki menjadi apa yang kita inginkan. Salah satunya adalah mengontrol emosi mereka saat mereka marah. Aku percaya statement itu bukan tanpa alasan, tapi dibentuk dari sebuah pemahaman yang cukup lama dari sang penulisnya. Bahwa memang, anak laki-laki kesulitan untuk mengomunikasikan apa yang mereka inginkan.

Saat akhir-akhir ini aku mendengar berita tentang tawuran antar pelajar, ingatanku kembali pada statement tadi. Bahwa anak laki-laki harus sering diajak bicara. Why? Karena, jika tidak, ia akan berbicara dengan menggunakan tangannya. Lihat saja tawuran yang sekarang sedang marak. Bukan hanya tawuran antar pelajar saja, tapi juga tawuran antar warga. Sebagian besar pelakunya adalah para laki-laki yang kehilangan control emosi. Sampai pernah kulihat, anehnya saat para warga itu tawuran mereka menggunakan helm sebagai penutup kepala. Apa gunanya helm jika mereka memang berniat untuk tawuran. Aneh sekali. Toh kalo memang gentle, tak perlulah tameng untuk melindungi diri. Apalagi menggunakan pisau untuk menusuk korban dari arah yang tidak terduga. Terkesan sekali tidak jantan. Jika mereka berniat untuk merusak orang lain, lalu merusak fasilitas  lingkungan, lalu kenapa harus ikut-ikutan melindungi diri? Toh, sudah niatan mereka untuk melakukan aksi kan?

Tawuran memang bukan hal baru di negeri kita. Jadi, jika hal itu terjadi, jangan saling menyalahkan. Yang saat ini diperlukan adalah solusi konkrit untuk menanggulangi dan mencegah tawuran terjadi. Tawuran yang sering dilakukan oleh para lelaki sebenarnya bisa ditanggulangi dengan cara mendamaikan mereka.

Pencegahan tawuran paling konkrit adalah dengan membentuk karakter anak sedini mungkin. Apa saja yang perlu diajarkan?

Anak harus diajarkan tentang arti bertahan diri, bukan berarti bertahan dengan ikut-ikutan tawuran. Tidak. Tapi mengajarkan arti bertahan dalam bentuk lain. Misalnya saja, anak diajak tawuran oleh temannya, mereka akan memprovokasi. Nah, jika dalam keluarga terbentuk pemahaman bahwa kekerasan tidak baik, maka anak akan menyingkir dengan sendirinya. Tapi jika anak menjadi sasaran kekerasan, ajarkanlah anak untuk bertahan dalam bentuk lain.

Jika prinsip yang diajarkan oleh lingkungan kurang baik, anak akan mengkonversi prinsip hidup tadi ke dalam dirinya, apa saja yang pernah diajarkan dalam lingkungan keluarga akan menjadi pilihan yang tepat untuk mengajarkan mereka tentang arti bertahan diri, tentang arti kasih sayang, tentang arti keberagaman. Pertahanan diri tidak harus menggunakan kekerasan. Nabi Muhammad sendiri pernah mengalami hal ini saat perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian yang mengajarkan perdamaian antar warga  yang berbeda agama. Padahal, jika saja nabi mengatakan “Ayo, serang!”, maka nabi akan menang secara telak. Tapi nabi memilih berdamai. Saat nabi mengatakan mari berdamai, saat itulah sebenarnya nabi menang secara telak. Karena, sebenarnya saat dua orang berselisih yang dibutuhkan adalah seseorang yang memulai untuk berdamai dengan lingkungan yang sedang berselisih paham, yang pandai memaknai kemenangan dengan cara lain. Apa yang lebih mulia dari menurunkan ego? Yaitu hidup dengan perasaan damai karena saat itulah kita sedang belajar untuk menundukan diri sendiri.

Ketahanan bangsa berawal dari ketahanan keluarga. Maka, mari kita bertahan dari serangan perusakan karakter anak bangsa, bertahan dengan mengajarkan akhlak dan budi pekerti sejak dini. Character building menjadi kunci yang tepat untuk menjawab segala jawaban atas permasalahan bangsa, tidak hanya tawuran, tapi juga dari seks bebas, narkoba, dll. Mari perkuat, sinergikan dengan lingkungan masyarakat dan sekolah, kembalikan lagi pada prinsip yang diajarkan agama, utamakan pula diskusi dan musyawarah di atas segalanya. Maka akan terbentuk karakter sejati yang tidak akan dengan mudah larut oleh pengaruh luar. Butuh komitmen terus-menerus, tidak hanya sekedar teori untuk melakukan ini. Jadi, mari beraksi. :)

Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Indonesia Bersatu: Cara Mencegah Dan Menanggulangi Tawuran

Selasa, 09 Oktober 2012

Menikmati Masa Kini



Bismillah...

Sekedar pengen curhat, jadi bukan dalam rangka ikutan GA. Haha. :p 
Yah, udah lama aku ga nulis, jadi agak kaku gitu tanganku. Sekedar buat nglemesin jari, jadi pengen nulis curcol ini aja :D

Pernahkah kamu merasakan kalau hidup seperti diputar ke arah masa lalu? Pernahkah merasa iri dengan segala yang pernah atau sedang terjadi pada seseorang teman di masa lalu yang tidak pernah kamu miliki? 

Btw, btw.... mendadak aku jadi ngerasa gitu waktu tadi ga sengaja liat salah satu nama temen smp. Anak osis dulunya dan secara ga sengaja, aku liat ada satu nama temanku lagi di masa lalu yang bikin aku inget jaman pas kecil. Nama satu temen ngajiku dulu pas umur-umur sekolah dasar. Inget banget namanya soalnya dia salah satu yang jadi rival di ngaji karena dia jauh lebih bisa cepat hafalan qur'an. Seakan juga, hidupnya aman damai sentosa, ga pernah kekurangan atau ga ada masalah. Seingetku keluarganya termasuk ningrat, jadi kalo main sama dia, agak dibatasi sama ortu atau kakaknya. :D 

Pas liat nama itu tadi, jadi inget bulikku suka cerita temen-temen kecilku dulu. Sejak aku pindah rumah, ga ikut di rumah simbah lagi, otomatis jadi jarang main ke rumah temenku itu. Tau-tau udah pindahan aja ga tau juga pindah ke mana. 

Time flies... 

Berasa balik lagi ke masa lalu, dan kaya diingetin lagi. Udah sejauh mana pencapaian saat ini. Jauh lebih baik atau lebih buruk. Tolak ukurnya kadang kerasa banget pas ketemuan dengan teman lama. 

Dan kadang, ada terbersit rasa iri. 

Maybe, karena dasarnya aku masih manusia, perasaaan iri itu jadi membentuk  rasa sesal. Kok dia bisa sampai segini ya, kok aku cuma gini aja. 

Errr.... dan segera aku tepis dengan perasaanku sendiri. "Sudah, sudah... ga ada gunanya juga menganggap kalau diri sendiri jauh lebih dibawah orang lain, padahal belum tentu juga hidup yang dijalani orang lain itu seperti yang dia inginkan. Ibaratnya, rumput tetangga jauh lebih hijau. heuheu". 

Hidup yang baik adalah hidup yang menuju kekinian. Bukan balik ke masa lalu, dan menyesali banyak kejadian yang tidak sesuai harapan. Bukankah takdir manusia juga beda-beda? Ga selamanya kita berada di atas atau di bawah. Dunia berputar, dan menikmati proses diri sendiri jauh lebih menerbitkan rasa syukur dibanding dengan membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. :)

#selfnote

Rasanya aku harus sering-sering menghafal, membaca dan memaknai ayat ini;
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

Tegal, 091012, 09:59