Sumber |
Saat aku duduk di bangku kelas tiga SMA, ada dua pilihan datang padaku. Apa aku akan ikut study tour ke Bali atau memilih ikut bimbel dengan nominal uang yang sama. Dan, aku pilih ikut bimbel. Tujuanku jelas. Aku berani memangkas kesenanganku untuk membeli sebuah impian yang lebih penting. Masuk kampus dengan ujian standar yang itu artinya aku tak perlu menghabiskan banyak biaya untuk kuliah.
Belakangan ada beberapa orang lagi yang menanyakan, kenapa tak ikut kegiatan A atau B, sedangkan kamu punya uang? Aku pikir bukan itu tujuan utamaku. Jika aku punya uang, aku akan memilah mana yang benar-benar prioritas. Sekali lagi, aku teringat sebuah kalimat yang dilontarkan petinggi perusahaan saham saat aku mendapat pelatihan gratis di sana tahun 2010. "Kita harus menciptakan generasi yang berani untuk menunda kesenangan sesaat untuk kesenangan yang lebih besar."
Aku pikir, pendapat ini ada benarnya. Kesenangan sesaat memang memberi kenangan, tapi hanya sampai pada kenangan saja. Kecuali jika kenangan itu justru membuatku lebih terpicu untuk menjadi lebih sukses, aku mau saja membeli kenangan itu. Tapi jika tujuannya sekali lagi hanya untuk foya-foya, apa tidak sayang uangnya ya?
Hidup dalam keluarga guru yang terbiasa mengajarkanku untuk hidup hemat, membuatku percaya, bahwa berhemat itu bukan aib. Bahwa menunda kesenangan sesaat itu justru seperti sebuah puasa, yang akan ada masanya untuk berbuka. Seperti janjinya Patih Gajah Mada, dia tidak akan makan buah pala jika belum menyatukan nusantara. Ah ya, sekali lagi, kadang emas yang berkilau indah itu hanya terlihat sepuhannya saja, padahal sebenarnya bukan emas murni. Hanya luarnya, padahal dalamnya keropos.
Well, curhatan ini murni karena terinspirasi curhatan seorang teman beberapa hari lalu. Semoga aku tetap bisa menjaga nilai-nilai yang penting daripada menggadaikan kesenangan semu demi gengsi.
Tegal, 18042013, 15:26
#noteformyself
#noteformyself