Cinta,
kata Ibnu Qayyim Al Jauziyah, laksana pohon yang tumbuh di dalam hati.
Akarnya adalah ketundukan kepada kekasih yang dicintai, dahannya adalah
mengetahuinya, rantingnya adalah rasa takut kepadanya, daunnya adalah
rasa malu, buahnya adalah ketaatan kepadanya dan air yang menghidupinya
adalah menyebut namanya (dzikr). Jika di dalam cinta ada satu bagian
yang lowong berarti cinta itu tidak sempurna.
Kecintaan kepada Allah (mahabatullah) juga bagaikan pohon yang tumbuh di dalam hati. Akarnya adalah kekhusyukan (khusyu’) dan kerendahan hati (tadharu’), dahannya adalah pemahaman tentang yang dicintai (ma’rifat), rantingnya adalah rasa takut (khauf), daunnya adalah rasa malu (haya’), buahnya adalah ketaatan (tha’at) dan air yang membuatnya hidup adalah menyebut dan mengingat namanya(dzikr).
Khusyu’ , tadharu’, ma’rifat, khauf, haya’, tha’at, dan dzikr merupakan nafas cinta dan elemen-elemen kejiwaan yang mengkonstruksi bangunan cinta. Cinta kepada Allah akan kehabisan nafas, rapuh, dan mati, jika sikap-sikap batin tersebut sirna dan hilang dari dalam diri manusia. Matinya mahabatullah berbanding lurus dengan matinya hati.
Sumbernya mahabatullah yang merupakan representasi dari kesegaran nuansa religiusitas dan wibawa ketakwaan dalam diri, berkaitan erat dengan hidupnya hati. Untuk itu, pendidikan hati menjadi sesuatu yang esensial dalam pembinaan pribadi manusia. Pendidikan hati memiliki fungsi yang sangat penting dalam upaya menginternalisasikan dan mengkristalisasikan sikap-sikap batin yang luhur dalam jiwa.
Pendidikan hati yang merupakan jalan untuk menggapai cinta ilahi dans ebagai tangga pendakian derajat muttaqin. Selamilah relung-relung hati, ejalah desah-desah kejiwaan yang ada di dalamnya sebagai upaya meningkatkan pengenalan diri (ma’rifat an nafs) dan menumbuhkan kesadaran diri (his an nafs) dengan dilandasi semangat instrospeksi (muhasabah) yang jernih tentang pentingnya mendidik hati (tarliyat alqalb), menyucikan jiwa (tazkiyat an nafs) dan mengkaji hati dengan sikap-sikap batin yang mulia, sehingga hati menjadi jernih, hidup, dan “cerdas”.
Kecerdasan hati/spiritual (SQ) akan menjadikan seseorang mampu menampilkan kebeningan perilaku dan keanggunan moral yang meneduhkan kehidupan sosial.
Diambil dari buku (minjem punya Easty Kartika Sari ) , lupa judulnya.. hehe...
Kecintaan kepada Allah (mahabatullah) juga bagaikan pohon yang tumbuh di dalam hati. Akarnya adalah kekhusyukan (khusyu’) dan kerendahan hati (tadharu’), dahannya adalah pemahaman tentang yang dicintai (ma’rifat), rantingnya adalah rasa takut (khauf), daunnya adalah rasa malu (haya’), buahnya adalah ketaatan (tha’at) dan air yang membuatnya hidup adalah menyebut dan mengingat namanya(dzikr).
Khusyu’ , tadharu’, ma’rifat, khauf, haya’, tha’at, dan dzikr merupakan nafas cinta dan elemen-elemen kejiwaan yang mengkonstruksi bangunan cinta. Cinta kepada Allah akan kehabisan nafas, rapuh, dan mati, jika sikap-sikap batin tersebut sirna dan hilang dari dalam diri manusia. Matinya mahabatullah berbanding lurus dengan matinya hati.
Sumbernya mahabatullah yang merupakan representasi dari kesegaran nuansa religiusitas dan wibawa ketakwaan dalam diri, berkaitan erat dengan hidupnya hati. Untuk itu, pendidikan hati menjadi sesuatu yang esensial dalam pembinaan pribadi manusia. Pendidikan hati memiliki fungsi yang sangat penting dalam upaya menginternalisasikan dan mengkristalisasikan sikap-sikap batin yang luhur dalam jiwa.
Pendidikan hati yang merupakan jalan untuk menggapai cinta ilahi dans ebagai tangga pendakian derajat muttaqin. Selamilah relung-relung hati, ejalah desah-desah kejiwaan yang ada di dalamnya sebagai upaya meningkatkan pengenalan diri (ma’rifat an nafs) dan menumbuhkan kesadaran diri (his an nafs) dengan dilandasi semangat instrospeksi (muhasabah) yang jernih tentang pentingnya mendidik hati (tarliyat alqalb), menyucikan jiwa (tazkiyat an nafs) dan mengkaji hati dengan sikap-sikap batin yang mulia, sehingga hati menjadi jernih, hidup, dan “cerdas”.
Kecerdasan hati/spiritual (SQ) akan menjadikan seseorang mampu menampilkan kebeningan perilaku dan keanggunan moral yang meneduhkan kehidupan sosial.
Diambil dari buku (minjem punya Easty Kartika Sari ) , lupa judulnya.. hehe...